How 2013 Works For Me

It came up with the Facebook's 2013 review button, when I was thinking about the upcoming new year's eve plan. I used to write down anything I can remember throughout the year before starting the new one, the new year.

And this year has been.....beyond anything I have ever imagined.
God's favor. That's the only rational answer, at least, so far.

I spent 2013 new year in Yogyakarta with some close friends and it was pretty cool. Unconventional way to spend the new year eve by just staying in hotel's room (with 8 people inside) and ended up eating nasi goreng at 2 a.m. No way for bullshit contemplation, we didn't even care. That was the time when getting our gadgets charged is way more important than making any new year's resolution. Fcuk that.

 The poor travelers in Keraton Yogyakarta
Source: Matiinu

That goddamn Nasi Gudeg. NOW I MISS IT SO MUCH (yes, capslock-ed)
source: Matiinu

I can't remember how many flights I've taken this year, but the most memorable one must be the (business) trip to Aceh. Yes, my first time going to Aceh; tasting the legendary Kopi Aceh and of course, Mie Aceh. I'm now pretty sure that one of the menus served in heaven must be Mie Aceh (and Nasi Padang).

That awesome window's view of Bukit Barisan along the way to Aceh

From the where I worked; somewhere in Peunaga Beach

Krakatoa Trip must be one of the greatest trips of the year. I just realized that I love the sea and the water since then (and many thanks to Marai Adventure, all the best for your coming works, cool guys)

"I can see you from above but I was too afraid."

Bringing an Instax for an outdoor trip was a pretty good idea though

One of the most random trips I've ever done and my most favorite of all times would be...coming back home to West Sumatera! After 10 years, I finally got the chance to go back to where my parents came from. Coming back to the place that I used to spend my holiday time at with my brother when we were younger. I couldn't think of anything else but the sweetest memories there. 

Just few minutes before our flight to West Sumatera. Another beautiful-airport-photo-shoot, isn't it?

 Contemplation over Lake Maninjau (we literally did it when were 'high')


And you will never know where life's gonna take you. 
Never in my wildest dream that I have to leave Indonesia and those beautiful people there this year, of course I had plans in mind but I never thought it would be this fast. So, another farewell (and for the first time, it was me to say the good byes). So long, home!

Do you know why I love waiting at the airport? Gazing at people and wondering where they are going
Doha - just few hours to go to ...

And finally, soon-to-be my second home
Munich, Germany


You will never know, you will never know. Just be ready when the most awesome scenario of life hits you!

Happy New Year from here!




Love,

F.




When it was snowing

You know the thing about living away from home is that daunting homesickness. I don't want to be melancholy by writing this, believe me, it is absolutely something inevitable no matter how strong you are yet it is not as scary as it sounds. I just accidentally got in the airport when all of sudden I recalled moment of the first time I landed here, few hours after the last time I saw my family and friends back home. It was overwhelming as I finally realized that I started to miss my home after two months and that was not too bad. It goes on naturally that you can't make denial, even you don't have to. 

Like when it was snowing, you really hate the freezing cold weather that might kill all your senses, leaving you with crazy shooting pain, but it was beautiful after all, worth watching and waiting. The snow was too sweet to be missed that you wanted to play on it, having it covering your jacket  then you became familiar with that kind of love and hate relationship with the snow because it would be your cherry-on-top of surviving in the winter that you gonna miss it someday.

That's not all cold after all, you know how to make it warm and even more prettier. Like, watching the snow falling tenderly from inside the house with your heart traveling miles away to home, whispering to the people you love back home:

 "I really wish you were here with me now, enjoying the white splendid snow, because it's beautiful."


That's what you may experience it in your lifetime, sweetheart, and you must to. Surprise me with your endless life adventure :)


Love,

F





Starnberg See

Saya gampang sekali jatuh cinta, sayangnya (atau untungnya) bukan pada sesama manusia. Saya gampang jatuh cinta pada tempat-tempat yang yang bisa membuat saya tersenyum tanpa alasan yang pasti. Tidak harus yang paling indah, tapi cukup bisa membuat saya ingin selalu membicarakannya berkali-kali dan kembali lagi.

Satu setengah bulan sudah saya tinggal di selatan Jerman. Tinggal di kota yang masuk jajaran 10 kota termahal di dunia, tinggal di sebuah kota dimana lebih mudah dan cepat bagi warganya untuk pergi ke Austria atau Swiss dibanding pergi ke ibukota negara sendiri, Berlin. Kepadatan kuliah, tugas, dan proyek membuat saya belum sempat ke luar dari negara bagian Bayern ini. Lagipula, saya toh masih akan lama menetap di sini, jadi saya pikir tak usah terburu-buru mencicipi setiap penjuru Benua Biru ini. Saya memulai piknik saya ke Starnberg See ketika saat itu, cuaca Munich masih bersahabat. Bersahabat untuk ukuran saya adalah ketika saya masih bisa membuka coat di luar ruangan dan tidak harus memakai boots. Starnberg See (See dalam Bahasa Jerman berarti Danau) adalah salah satu danau terbesar di Jerman. 







Dan cuaca baik di Eropa memang baiknya dirayakan dengan satu scoop gelato.



Love,

F.


A Letter from The Procrastinator

Dear R & R,

Hi, I was working on my presentation when suddenly I wanted to write you a letter. I don't know I just wanted to. This is absolutely not a perfect time to write you some lines, I should have done my works. But anyway, if there was an award, then I might win the best procrastinator in this entire universe, for always procrastinating everything and find myself like trying to go suicide because of endless deadlines later on (don't laugh -- you inherited my genes).

I remember my previous Public Relation class discussed about what are you going to be after graduation. Well, too early to talk about it but anyway, some of my friends mentioned about going to BMW or Volkswagen or some other big player companies in this universe. Me? My answer? What if I said I just wanted to stay home, waiting for my husband come back from work, and raising you guys after all?

Well, that wasn't my answer to be honest.

The cliche is, you could be anything you wanted to be. Anything, I mean anything. Oh being a demonologist? Ok, we'll talk, that's too scary. But, I was dreaming about going to continue my education in a developed country some time ago, so I made pretty good efforts (calm, this just lasted only at the beginning, remember that I am the best procrastinator).

Sweethearts, your peers might think that you are mediocre. No problem with that, the problem might be if you stay with that within yourself. Don't just don't. Think freely as if there were no hurdles that block you but act wisely as if there were barriers around you.

You could be what you wanted to be, as long as you didn't hurt people in a bad way.

I'll go back to my works, see ya.



Love,

F

Osaka & Ottawa



"What was your best part of being in a long distance relationship?"

"When the rain comes."
"I knew the distance between Osaka and Ottawa, between me and my wife. But when the rain comes, I know that it is something natural, just like the rain that must fall on everyone. "

"and simply because rain makes everything better."




Tentang Sekolah Lagi

Jumat, 7.36 pagi waktu Jerman. Libur nasional di Jerman (dan beberapa negara Eropa, sepertinya) untuk memperingati hari besar keagamaan. Pagi yang berjalan cukup lambat karena tidak perlu berlari-lari mengejar tram untuk ke Bahnhof lalu lanjut ke kampus atau harus keluar rumah dengan kondisi langit masih gelap dan suhu 2 derajat.

Tepat setelah saya menerima Zulassung (Bahasa Jerman untuk Letter of Acceptance) dari universitas tempat saya melanjutkan pendidikan sekarang, cukup banyak yang menanyakan bagaimana caranya saya bisa sampai diterima. Beberapa ada yang kaget, karena sebelumnya saya tidak terlihat seperti orang yang sedang mempersiapkan sekolah, saya bukan scholarship hunter yang gigih seperti teman-teman lain, ditambah saya masih bekerja saat itu, jadi rasanya memang tidak mungkin tiba-tiba dalam waktu 2 bulan kemudian, atau hanya berjarak 3 minggu dari surat resmi resign, saya sudah berada di sini.

Saya bukan pemburu beasiswa yang idealis sepertinya, jadi sepertinya saya bukan orang yang tepat untuk ditanya-tanyakan mengenai hal ini. Tapi kalau ditanya kenapa saya memutuskan untuk kembali sekolah lagi dan mengapa Jerman yang saya pilih, mungkin sedikit bisa dijelaskan.

Entah memang benar atau tidak, keinginan untuk melanjutkan sekolah pasti dimiliki semua orang. Paling tidak untuk orang-orang yang saya kenal. Mungkin memang tulus keinginan dan cita-cita dari dalam hati, tapi mungkin ada beberapa yang terpengaruh. Terpengaruh karena lingkungan. Bagi saya dan teman-teman yang tumbuh dalam lingkungan akademis yang sangat kental di Bandung, melanjutkan sekolah ke luar Indonesia seakan jadi daya tarik sendiri dan wajib hukumnya, jika mampu.

Bagi beberapa orang itu pilihan, tapi bagi saya tidak, itu yang saya rasakan 2 tahun lalu.

Saya menyimpan dulu keinginan untuk melajutkan sekolah rapat-rapat, untuk mungkin di kemudian hari akan saya keluarkan kembali, jika kesempatan dan takdir bertemu. Beberapa orang yang saya kenal satu-persatu berangkat, tapi saya memilih untuk bekerja terlebih dahulu, toh saya masih belum yakin passion saya dimana, saya tidak ingin salah langkah. Karena melanjutkan ke jenjang Master bagi saya bukan lagi untuk main-main seperti S1, seperti menikah, saya hanya akan benar-benar memutuskan untuk apa yang benar-benar saya cintai dan ingin dalami. 

Dua tahun berjalan, saya kadang lupa cita-cita saya apa haha. Sudah cukup bahagia karena sudah merdeka dalam hal finansial. Tapi justru saya menemukan ketertarikan saya di bidang yang ternyata cukup jauh dari latar belakang pendidikan saya sebelumnya. Tapi kemudian saya juga masih lupa keinginan saya untuk sekolah lagi.

Then some things happened to me this year.

Saya benar-benar tidak pernah merencanakan. Agak aneh kalau dibandingkan dengan teman-teman lain yang mempersiapkan keberangkatannya dari setengah tahun atau bahkan setahun sebelumnya. Untuk saya, ini terjadi cuma dalam sekali dua kali kedip kalau boleh melebih-lebihkan. Semuanya berjalan benar-benar biasa saja, tanpa ada huru-hara. Saya hanya mencoba peruntungan, itu pun hanya sekali, lalu ternyata berjodoh. Semuanya seperti berjalan di luar kendali, persis seperti wayang yang hanya pasrah digerak-gerakkan oleh dalangnya. 

Jadilah saya di sini sekarang. Menempuh pendidikan di bidang Manajemen Sumber Daya. Jauh? Iya, bisa dibilang. Tapi keilmuan kan terintegrasi. Cukup bagi saya memiliki latar belakang sains pada saat bachelor, engineering pada saat bekerja, dan manajemen untuk memberi rasa. Mengapa Jerman? Karena saya tahu ini yang terbaik, paling tidak menurut saya.

Jadi kalau ditanya, gimana sih persiapan yang baik sebelum berangkat atau gimana caranya atau pertanyaan-pertanyaan lain seputar pendidikan, saya rasanya bukan orang yang tepat untuk menjawab deh :p


Munich, di kala cuaca baik-baik saja



Viel Glück!

Today is Yours


After a tiring week, introducing myself (with my name which is apparently a bit difficult to pronounce by most Europeans), I got a free day or two until next week. Not to mention that tomorrow I've to be in Bahnhof very early in the morning to catch train to Munich. Yes, I'm living there. Right in the heart of Munich. 

Today is yours,
Some people I know are celebrating graduation, far away from me. Throwing back to the day of mine, exactly 2 years ago, I felt nothing but happy. I couldn't be more happier than I was that day.

And it's funny how life takes you.

I couldn't say any lofty and precious words for you, friends. But sometimes after all, all you have to do is just relax, enjoy anything you've got and not thinking too much. Like enjoying your gelato and watching people passing by.



Love from Munich.

F

Greetings from Bavaria!

I walked today after buying some stuffs around the Marienplatz area, yes, I put those stuffs in my backpack just because I forgot to bring my shopping bag. A nice afternoon with a late warm sunshine and breeze it was.

"Einzelfahrkarte, bitte." I said to the bus driver

So I am already here. My flight here was swift. I've never been so afraid to go anywhere as I was that day. I couldn't sleep properly yet I was very excited. Taking 18 hours of flight to go to the place where you can see the Alps scenery at your backyard, to go to place which dreams and realities collide.



So, greetings from Munich!
Grüße aus München!

Photograph

Dear R & R,

I promised to write letters for you later, I failed. I just miss you, or someone else related to me and you, of course. That's the reason.

Life has been quite unpredictable lately. I have just resigned from my job and being in a transition from what-so-called ordinary working woman to another stage of life is pretty sucks. I am not sure if everyone feels the same, or it's just me with my chaotic hours of sleep and awful biological clock since I left my job.

Well, that's not the point I want to tell you, Sweethearts.

Let me tell you what I am doing now; I'm sorting my photos, some of them will be packed along with my stuffs and fly with me, while the rest will stay here, at home. I'm not into taking loads of pictures of myself every hour or every day, what's important to me is capturing moments. The best time of your life in which you think you might miss it someday or, you might never see it again. The moments you will never experience it again.



So sweethearts, capture a moment when you feel you have to. Keep them in a safe place. You may keep the loveliest ones in one place so you can see it anytime you want. When you have to travel, bring some of them with you, just in case a loneliness aches you. Be grateful for the people you love and love you in return. Draw up their smiles in your heart so you don't feel lonely. 

Hug them while you can. 



"You don't take a photograph, you make it" - Ansel Adams



I wish you good memories, just like mine.




Love,

Me.


but moving on is never easy

Dear R & R,

It's been quite long time since the last time I wrote letters for you. I was pretty busy preparing every single thing, I was busy dealing with my own thoughts and deep feelings.

Darling,

Right when I was 3 or 4, my father taught me how to ride a bike. The 4-wheel bike is just a thing for me at that moment, I quickly mastered it and most importantly, I felt safe. I am steady though I'm not moving. Then everything started to scare me. My father took off the two wheels on the back, my source of ease. I wasn't ready yet I had to keep it moving, I fell off my bike.
Riding a bicycle is just one of the greatest metaphors for living life. That's why I am writing this, I want you, both of you, to keep moving as you'll need it for the sake of your balance. 

Darling,

I am still far away and I can't be a faultless role model for you. But I promise I'll be the one who share endless stories of mine before your bedtime, I'll be the one who watch you riding a bike for the very first time of your life, though moving on is never easy.

See you on the other side of the world.



Love,


Me,
Few days away before my departure.

Warna


Warna.


Hampir 3/4 tahun sudah terlewati di 2013. Tahun di mana rencana Tuhan lebih bermain peran dibanding rencana saya sendiri. Tahun kehilangan, menemukan, dan ditemukan. Tahun dimana saya lebih merasa seperti wayang, sementara semesta menjadi dalangnya. 

Kehilangan adik saya sendiri adalah kehilangan yang saya sendiripun tidak bisa menggambarkannya. Jika belum pernah merasakan kehilangan anggota keluarga dan secara tiba-tiba, maka saya sarankan tidak usah bicara tentang rasanya ditinggal. Pukulan yang cukup keras bagi saya, saya sempat berjanji sambil memeluk tubuh adik saya yang sudah mendingin: dengan kuasa semesta, saya akan mewujudkan mimpi saya, membanggakan Mama dan Papa.

Beruntunglah saya, saya anak pertama yang terbiasa melakukan apa-apa sendiri bahkan cenderung tidak suka meminta tolong orang lain. Saya sangat menjunjung tinggi keleluasaan pribadi, tidak perlulah semua orang tau apa yang sebetulnya sedang saya rasakan, apa yang sebetulnya sedang terjadi.

Ditemukan dan menemukan. Saya diingatkan bahwa semandiri-mandirinya saya, kehadiran orang lain ternyata sangat saya butuhkan dan memang berarti. Saya jatuh cinta lagi.

Tuhan, malaikat, dan semesta mungkin bersekongkol atau mungkin juga berkat bisikan adik saya di atas sana. Saya diterima di salah satu universitas terbaik di Jerman untuk melanjutkan studi master, gratis. Tanpa saya sadari, Tuhan dan semesta bekerja untuk ini semua, lewat orang tua saya, teman-teman, bahkan lewat dosen pembimbing dan supervisor saya yang mati-matian merekomendasikan saya. Saya tidak pernah benar-benar merencanakan, tapi seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, saya ini wayang, semesta adalah dalang.

Terima kasih semesta,


Satu titik kecil di dalammu.


Help me, now I think I'm a killer!

Dear Deeplings,
I am a dinoflagellate – a single-celled microscopic plankton of the fine lineage Karlodinium armiger. I’m a pretty peaceful dude-lady – I just chillax on the ocean’s surface, spinning my flagella and soaking up the sun. The only thing I thought I had to worry about was getting eaten by one of those nasty copepods.
But now I’m afraid there might be something wrong with me. We were having a bloom event like we dinoflagellates do – sometimes you just gotta get your freak on, you know? All of a sudden I started to feel…hungry, which was strange because the sun was out. I blacked out and when I came to, my feeding tube was stuck in a giant dead worm larvae, and I was slurping up its innards! There were zooplankton bodies strewn everywhere, with my  K. armiger peeps were crawling all over their silent corpses! I mean, I know zooplankton are our ancient enemies, but this seems extreme. Now I’m afraid that I’m a psycho killer. Help!


Sincerely,
Karlodinium armiger the 21,783,912th







Taken from this

You Never Know Where Life's Gonna Take You





Or Vice Versa.


be careful, be wise, and enjoy the ride, Rakata, Rinjani.
You'll be great.










How Happy is Too Happy?

There must be something related to psychology, or neurology, or euphoria neuroethics or deep brain or whatever. I got C in such subjects.

But let me tell you, Darling. You will never be happy if you continue to search for what happiness consists of.


I rarely find that happiness is an interesting story. Like watching a movie, a happy ending one, it would be very boring it will hurt my ass. It's like Tolstoy said, happiness is an allegory, unhappiness a story.



Yes, Murakami, you're right.





Bandung, 12 Agustus




Tulisan kali ini agak sedikit serius. Tapi entah kenapa ini sangat menarik.

Hari ini saya pergi ke Bandung, finally, setelah 4 bulan tidak menyentuh Bandung. Bagi yang belum tau, saya kuliah di Bandung dan terlalu banyak cerita yang saya tinggalkan di sana. Maka setelah saya meninggalkan Bandung 2 tahun lalu, wajib hukumnya bagi saya untuk sekedar "main" ke kota ini. Tujuan saya pulang ke Bandung kali ini adalah untuk mengurus keperluan akademik saya, sekaligus, mungkin, ini kali terakhir saya mengunjungi Bandung sebelum saya hijrah ke benua biru 1,5 bulan lagi.

Saya bertemu dosen pembimbing saya, yang kebetulan sedang membuka sesi konsultasi dengan salah satu anak bimbingnya. Hanya ngobrol sebentar menanyakan kabar dan sedikit masalah publikasi jurnal, lalu beliau pamit untuk kembali berurusan dengan anak bimbingnya tersebut. "Kasihan, lagi galau." begitu kata beliau untuk menggambarkan kondisi sang anak bimbing. Saya paham betul, saya pernah ada persis di posisi itu 2 tahun lalu.

Cerita berlanjut ke sebuah meja di sebuah restoran di ujung Simpang Dago. Saya dan beberapa teman yang berasal dari satu lab berkumpul untuk makan siang sambil berdiskusi, singkat namun padat. Dimulai dari pertanyaan sederhana: "Untuk apa sekolah lagi?"

Saya bercerita, begitupun dengan yang lain. Bagi saya sendiri, keputusan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seharusnya bukan digunakan sebagai sarana pelarian ataupun iseng. Saya dan kami setuju, bekerjalah dulu, kenali dunia, dan rasakanlah diinjak-injak dulu sebelum akhirnya memutuskan untuk maju dan fokus pada satu bidang tertentu.

Tapi tentu ini murni pendapat kami dan tidak bisa digeneralisasi. Setiap orang punya cara pandang berbeda dan dialah sepenuhnya yang memegang kendali mau dibawa kemana kendaraan kehidupannya.

Teman saya, Abraham memberi analogi seperti ini: 
"Sekarang bayangin lo lagi bawa mobil. Lo udah lihat di depan ada lampu lalu lintas berikut persimpangannya dan lo belum tau akan belok ke mana. Posisi lo mungkin masih jauh di persimpangan, lo masih punya cukup waktu untuk mempertimbangkan jalan mana yang akan lo ambil. Lebih baik lo pikirkan sekarang, daripada nanti lo sudah terlanjur berhenti di lampu merah dan berakhir dengan terburu-buru mengambil keputusan."

Begitu kira-kira.

Luar biasa teman saya yang satu ini. Perkara menyetir itu adalah kombinasi dari logika dan perasaan. Ketika memilih satu jalan, kamu mungkin bisa saja memilih itu karena alasan yang logis; jalan ini lebih cepat, lebih lancar, tidak banyak batu, dan lain-lain. Tapi ingat, perasaan juga bermain peran. Secara logika, jalan ini memang menang dari yang lain, tapi kamu tidak akan pernah bisa membohongi diri kamu bahwa kamu lebih sreg dengan jalan yang satunya.

Tapi tentu, kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di jalan yang kamu pilih sebelum merasakannya sendiri. Kalaupun salah, toh kita sebenarnya punya kesempatan mengambil jalan lain untuk menuju ke jalan yang kita kehendaki, atau kalau perlu, kembali ke posisi semula.

Tapi ingat, jangan pernah mundur. Teruslah melaju.

Bandung, 12 Agustus 2013
Siete Cafe

This Ramadhan

Dear brother,

Hi hello how are you there?
Tomorrow is Eid and I never thought that this would be my first time spending Eid without you. I miss you of course, but I know you're in the safe place, you're way happier than the happiest people in this world.

So many stories that I'd like to tell you; about me, about Mom and Dad, about my work, about my trip going to some places, about my friends or maybe about your future brother-in-law.

Me, fine of course as you might see. The last few months it feels more like roller-coaster to me as so many things and feelings happened. But everything's under control, I promise you.

I'm going to live in the place that I've been dreaming of in the next two months, going to leave everything here. I know moving on is never easy, but at least it is the sign that I'm still alive. I will tell you later once I arrive in Munich.

So, Eid Mubarak, sweetheart.
Til we meet again.


Love,
your sister.

First Half

Hi.


Today is July 26, just approximately two weeks away from Ied holiday. Half the year has gone and really it was the most fluctuating period I've ever experienced. I went to so many places both for work and holiday. I've been flying here and there. People might think that I'm so lucky and happy and cool and such, well, indeed yes. But I must say that I've been working hard and going through the tough times when everything got difficult.

It is just because I don't think people should know about what actually happened in my life or how hard my life or my work is. I didn't grow up in a spoiled way.

But being the half way point of the year, it allows me to look back and relieved, and also believe.
And here we are, in the second half of the year. Things might get hard and even harder, weird and even weirder. 

Just don't worry, my friend, do not complain. 

Air dan Kedalaman (Water and Depth)

What is your biggest fear?



"Mungkin selain Tuhan, saya tidak tahu jawabannya. Tapi bukan berarti saya juga orang yang sangat berani sih."

"Kamu sudah sering berkeliling kota dan tempat."

"In fact, yes. Tapi belum pernah ada yang sebegitunya mengerikan buat saya. Kecuali hampir tertabrak bus di terminal perbatasan negara atau paling ya hipotermia."
"Oh sebentar, tapi saya takut air. Bukan takut, saya tidak begitu suka air."

"Ya kamu memang terlihat anak daratan sekali. Kuat jalan, panas, dan dingin."
"Tapi bagaimana bisa kamu tidak suka dengan sesuatu yang selalu kamu temui tiap hari? yang kamu butuhkan untuk menjaga keseimbanganmu?"
"Pasti bukan air yang kamu takuti kan? Ada perasaan lain yang kamu takuti, karena air hanyalah media."

"Iya. Saya mana mungkin bisa hidup dan seimbang tanpa air."

"Lalu?"

"Saya takut kedalaman."



--------------------------------------------------
On today's conversation, in the office hours.




Sumatera

So I spent my time between Java and Sumatera in the last two months. After spending a big time in Borneo (well, Balikpapan - Sangatta actually), I was assigned to do site visit in Aceh (with a transit in Medan) and also managed my holiday in Lampung and Padang. So many stories; my contemplation over Bukit Barisan, my love for Peunaga, our endless laughter along the way from Padang to Maninjau and back, our late night dinner and talk by the pool, and my sentimental side looking at the sea between Krakatau and Rakata.

It is like coming back to the root, being close to the heart of what you define as happiness and relief.
Thank you and see you.








Pulang




Saya malas cerita panjang lebar tentang perjalanan, travel blogs gitu sepertinya sudah terlalu mainstream. Paling tiap kali saya pulang dari suatu tempat, cuma post foto-foto yang berkesan, males kalo sampe kerajinan nulis itinerary atau day per day. 

Semua perjalanan bagi saya punya cerita masing-masing. Namun pasti ada sesuatu yang istimewa ketika saya mau menuliskannya seperti yang sedang saya lakukan saat ini.

Minggu lalu saya menghabiskan beberapa hari di Sumatera Barat. Destinasi yang mungkin kurang "vokal" bagi sebagian besar orang. Tapi ketika sampai di Bandara Internasional Minangkabau, jangan heran ketika melihat turis-turis mancanegara berjejal sambil membawa papan surfing atau diving gear untuk menikmati pesona pesisir selatan Sumatera Barat. Saya pun kaget, terakhir kali pulang, rasanya tidak seramai ini.

Bagi saya, Sumatera Barat berarti pulang kampung. Kampung kedua orangtua saya. Kampung dimana darah Minang dalam diri saya berasal. Kampung yang upacara adat dan pemberian gelarnya akan saya lakukan ketika saya menikah nanti. Perjalanan ke Padang selalu istimewa, naik pesawat ataupun lewat jalur darat dengan mobil pribadi seperti yang biasa keluarga saya lakukan. Kali ini tak kalah istimewa, karena saya membawa teman-teman baik saya.

Travel partner saya kali ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Saya besar, main, dan belajar naik gunung karena dan bersama mereka. Hampir sepuluh tahun kenal rasanya sudah cukup untuk mengenal tabiat masing-masing, karena itulah untuk pertama kalinya saya membawa mereka ke rumah keluarga besar saya di Bukittinggi :D

Setiap sudut Sumatera Barat terasa akrab walaupun sudah lebih dari 10 tahun saya tidak pulang. Jalan ke Bukittinggi yang berkelok-kelok, ngarai tempat dulu saya mandi, kebun di belakang rumah Inyik (Inyik = kakek) tempat saya makan tebu, teh talua (teh telur) buatan Inyik, atau soto padang yang jadi menu wajib keluarga besar saya.

Saya lahir dan besar di kota besar. Tapi baru sekarang saya merasa beruntung dan memahami mengapa orangtua saya mengenalkan saya pada kampung halamannya sejak saya kecil. Membiarkan saya mandi di ngarai, membiarkan saya digigit semut merah di kebun Inyik, atau membiarkan saya mabuk darat di perjalanan selama 50 jam lebih.

Agar saya tidak lupa. Agar saya tidak lupa dari mana darah saya berasal. Agar saya tahu diri. Agar saya bisa memaknani arti kata Pulang.


Float - Pulang


Daydreaming over Maninjau

Hello!

Pictures taken by:  Mas Kemal








Freedom

I am writing this on a red-cushioned sofa, in the corner of a modern and comfortable public library in Jakarta. Wait, did I just mention Jakarta and 'comfortable'? The seemingly-inappropriate juxtaposition of words?
But yes. It is Jakarta and it is comfortable.

I take my vacation leave this week (yes, after that dizziness of field works, supervisions, office things, and such) and I have one day off in Jakarta before taking a flight. So I decided to go to this place, a public library called Freedom Library (Perpustakaan Freedom). I'm not going to give you any details/interiors/this and that about this place. You have to experience it yourself.

I found a Peter J. Schmitt's Back to Nature, a historical-non fiction book that once I've heard from my friend (historical book? yes, I am into it. I grabbed Soekarno and D.N Aidit books also for today LOOOL old :p)



and....here we go. I'm gaining my own definition of freedom in a place called Freedom.

Arrivals and Departures





"What are you doing?"

"Just reading this departure board."

"Are you going to somewhere?"

"No."

"Then?"

"Nothing. I just feel like maybe this is the true value of life."

"Why?"

"For we are always moving. Life is a series of arrivals and departures."



Picture taken in Bangkok (2011)

Tentang Traveling dan Toleransi

Di antara kita mungkin sudah mengetahui berita-berita mengenai betapa mirisnya prosesi Waisak tahun ini di Candi Borobudur yang sayangnya 'dinodai' oleh tingkah laku beberapa turis yang kurang menghargai jalannya ibadah. Beberapa dari mereka membuat rangkaian acara yang seharusnya berjalan sakral menjadi terusik, bahkan menimbulkan ketidaknyamanan bagi umat yang ingin beribadah. 

Hal ini mengingatkan saya atas kejadian beberapa bulan lalu. Di antara kita tentu masih ingat booming film 5 CM yang menyuguhkan pesona alam titik tertinggi di Pulau Jawa, Mahameru. Setelah itu, entah kebetulan atau tidak, seakan-akan orang-orang berbondong-bondong ingin merasakan  keindahan Semeru, Ranu Kumbolo, dan menjejakkan kaki di puncak tertinggi di Jawa tersebut dengan mata kepala sendiri. Tidak ada yang salah. Justru di satu sisi hal ini berdampak positif, membangkitkan rasa cinta pemuda-pemudi Indonesia akan tanah airnya sendiri. Menyadarkan kita bahwa bumi Indonesia adalah salah satu ciptaan Tuhan yang paling indah karena dikaruniai bentang alam yang begitu luar biasa, yang belum tentu ditemukan di tempat lain. 

Namun sayangnya, rasa keingintahuan dan semangat yang menggebu-gebu tersebut tidak dibarengi dengan rasa 'tanggung jawab' dan 'toleransi'. Pendaki Semeru membludak bahkan hampir mencapai angka dua ribu, padahal setahu saya kapasitas Semeru hanyalah sekitar 500-600 orang. Hal ini sempat membuat Semeru ditutup untuk umum selama beberapa bulan untuk proses 'pemulihan'. 

Saya sedikit banyak belajar mengenai konsep ekologi dan bentang alam selama di bangku kuliah. Alam dan semesta bukan benda mati, mereka memiliki daya dukung dan threshold-nya masing-masing untuk mempertahankan keberlangsungannya, termasuk gunung. Gunung-gunung yang pengelolaannya sebagian besar termasuk ke dalam Taman Nasional memiliki kapasitas maksimal jumlah pengunjung/pendaki. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem yang berada di dalamya.

Logikanya, semakin banyak pengunjung, semakin banyak logistik yang dibawa, maka akan semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. Belum lagi tidak semua pendaki benar-benar memahami etika naik gunung yang baik dan benar. Naik gunung tidak mudah. Mungkin terlihat mudah, namun percayalah, naik gunung tidak sama seperti jalan-jalan biasa. Banyak sekali hal-hal yang harus diperhatikan, mulai dari persiapan perjalanan, peralatan yang memenuhi standar, logistik, hingga etika selama berada di dalamnya.

Saya sendiri kadang sedih melihat beberapa orang di sekitar saya hanya 'ikut-ikutan' arus. Ingin naik gunung, tapi tidak memperhatikan keselamatan diri sendiri dan kenyamanan sekitar. Membawa peralatan dan logistik yang sangat minim, membuang sampah seenaknya seakan-akan gunung adalah tempat sampah raksasa, merusak jalur pendakian, merusak vegetasi, dan masih banyak lagi. Sangat disayangkan masih banyak yang beranggapan bahwa naik gunung sama halnya dengan 'rekreasi' dan 'wisata'. Padahal lebih dari itu, naik gunung itu adalah keseimbangan, antara diri sendiri, orang lain, alam, dan yang menciptakannya. Kalau pendaki-pendaki dadakan ini tidak paham keselamatannya sendiri, bagaimana ia bisa memikirkan linkungan di sekitarnya?

Persepsi sebagian besar dari kita selama ini adalah bahwa urusan konservasi dan kelestarian alam semata-mata merupakan tugas dan kewajiban yang berwenang, seperti pengelola Taman Nasional atau LSM. Kita hanya tinggal 'menikmati'. Padahal kitalah yang berada di garis terdepan untuk dimintai pertanggungjawaban.

Kejadian Candi Borobudur dan Mahameru sungguh benar-benar mencoreng dunia 'traveling'. Dunia yang sedang booming dan banyak diperbincangkan saat ini. Semua orang tentu bangga dengan cap 'traveler' pada diri mereka. Bermodalkan kamera DSLR dan ransel, maka predikat 'traveler' sudah 'resmi' disandang. Padahal menjadi seorang traveler atau pendaki gunung tentu tidaklah mudah. Ada tanggung jawab di dalamnya. Ada rasa cinta, toleransi, dan yang pasti, ada rasa memiliki di sana. 

Tidak ada yang salah dengan menyebarkan semangat jalan-jalan atau traveling. Semua orang berhak melakukannya. Namun traveling seharusnya bisa menambah kecintaan dan rasa memiliki, bukan hanya sekedar 'menikmati' lalu ditinggalkan begitu saja. Semangat traveling seharusnya disertai dengan catatan-catatan, bukan bebas tanpa batas. Sebelum melakukan perjalanan, sempatkanlah melakukan persiapan. Kenali dan pelajari daerah yang akan dituju, bersiaplah. Ketika sampai, hormati dan berlakulah sesuai etika, patuhi aturan lokal, lalu nikmatilah. 

Seegois itukah kita sampai hanya mau menikmati sendiri tanpa peduli orang lain? Seegois itukah kita sampai hanya mau menikmati sendiri tanpa peduli apakah nanti anak-cucu kita masih sempat menikmatinya?

Selamat jalan-jalan.


Salam dari Puncak Mahameru