Bandung, 12 Agustus




Tulisan kali ini agak sedikit serius. Tapi entah kenapa ini sangat menarik.

Hari ini saya pergi ke Bandung, finally, setelah 4 bulan tidak menyentuh Bandung. Bagi yang belum tau, saya kuliah di Bandung dan terlalu banyak cerita yang saya tinggalkan di sana. Maka setelah saya meninggalkan Bandung 2 tahun lalu, wajib hukumnya bagi saya untuk sekedar "main" ke kota ini. Tujuan saya pulang ke Bandung kali ini adalah untuk mengurus keperluan akademik saya, sekaligus, mungkin, ini kali terakhir saya mengunjungi Bandung sebelum saya hijrah ke benua biru 1,5 bulan lagi.

Saya bertemu dosen pembimbing saya, yang kebetulan sedang membuka sesi konsultasi dengan salah satu anak bimbingnya. Hanya ngobrol sebentar menanyakan kabar dan sedikit masalah publikasi jurnal, lalu beliau pamit untuk kembali berurusan dengan anak bimbingnya tersebut. "Kasihan, lagi galau." begitu kata beliau untuk menggambarkan kondisi sang anak bimbing. Saya paham betul, saya pernah ada persis di posisi itu 2 tahun lalu.

Cerita berlanjut ke sebuah meja di sebuah restoran di ujung Simpang Dago. Saya dan beberapa teman yang berasal dari satu lab berkumpul untuk makan siang sambil berdiskusi, singkat namun padat. Dimulai dari pertanyaan sederhana: "Untuk apa sekolah lagi?"

Saya bercerita, begitupun dengan yang lain. Bagi saya sendiri, keputusan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seharusnya bukan digunakan sebagai sarana pelarian ataupun iseng. Saya dan kami setuju, bekerjalah dulu, kenali dunia, dan rasakanlah diinjak-injak dulu sebelum akhirnya memutuskan untuk maju dan fokus pada satu bidang tertentu.

Tapi tentu ini murni pendapat kami dan tidak bisa digeneralisasi. Setiap orang punya cara pandang berbeda dan dialah sepenuhnya yang memegang kendali mau dibawa kemana kendaraan kehidupannya.

Teman saya, Abraham memberi analogi seperti ini: 
"Sekarang bayangin lo lagi bawa mobil. Lo udah lihat di depan ada lampu lalu lintas berikut persimpangannya dan lo belum tau akan belok ke mana. Posisi lo mungkin masih jauh di persimpangan, lo masih punya cukup waktu untuk mempertimbangkan jalan mana yang akan lo ambil. Lebih baik lo pikirkan sekarang, daripada nanti lo sudah terlanjur berhenti di lampu merah dan berakhir dengan terburu-buru mengambil keputusan."

Begitu kira-kira.

Luar biasa teman saya yang satu ini. Perkara menyetir itu adalah kombinasi dari logika dan perasaan. Ketika memilih satu jalan, kamu mungkin bisa saja memilih itu karena alasan yang logis; jalan ini lebih cepat, lebih lancar, tidak banyak batu, dan lain-lain. Tapi ingat, perasaan juga bermain peran. Secara logika, jalan ini memang menang dari yang lain, tapi kamu tidak akan pernah bisa membohongi diri kamu bahwa kamu lebih sreg dengan jalan yang satunya.

Tapi tentu, kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di jalan yang kamu pilih sebelum merasakannya sendiri. Kalaupun salah, toh kita sebenarnya punya kesempatan mengambil jalan lain untuk menuju ke jalan yang kita kehendaki, atau kalau perlu, kembali ke posisi semula.

Tapi ingat, jangan pernah mundur. Teruslah melaju.

Bandung, 12 Agustus 2013
Siete Cafe

No comments: