Flight to Jakarta: Booked!



This might be my happiest expression after booking a flight, even more happier than when I finally booked my flight from Munich to Oslo earlier this year. Or probably would still be the happiest even If I got my visa and tickets to the United States (ugh still waiting). This is the moment.

I am still 4 months away from Indonesia, Jakarta, Bandung, my parents, my family, my best friends, and all the things I've been missing for almost one and a half year. I still have to go through a lot of work, training, and project to be done. Um, did I mention that I also have to entering my 26th year old? that's not the thing, I'm kinda surprised about how life has been treating me so far ;)     

I never had such a long period of time of not seeing my parents. They actually had a plan to visit me this winter but I don't think this would be a perfect time as the work-related stuffs are keeping me busy right now, plus traveling in winter time is not a wise decision for the olders. So they changed the plan, they'll visit me in the next fall, but before that, I'll fly first to Indonesia over the spring. Sounds like a plan.  

Anyway, this is my second winter in Europe. The first one I had in Munich last year and this time I am in the other part of Germany. The cliche of "You don't know where life's gonna take you" still works for me. You do have the idea why I don't want to be settled at the moment, don't you? 


-F


                                                                                                 

Bekerja di Perusahaan Asing (?)

Source: Google


Katanya, ketika masih menjadi mahasiswa (mungkin sebagian besar hanya berlaku untuk mahasiswa strata sarjana) adalah masa dimana idealisme sedang berdiri dengan kokohnya. Saya pernah mengikuti beberapa kegiatan kampus yang hampir setiap hari diisi dengan kajian politik dan kebangsaan, bahkan ketika pertama kali kami disambut di kampus, spanduk-spanduk dengan slogan yang seolah-olah hanya kamilah yang terbaik untuk bangsa ini jelas terpampang di depan kami. Semangat kebangsaan bagi saya memang perlu, untuk menghindari krisis identitas di kemudian hari. Namun ketika idealisme dan semangat kebangsaan diterjemahkan dalam arti yang sempit, konsepnya pun akan berubah. 

Ada satu bahasan yang menarik bagi saya, bahkan hingga saat ini: pro dan kontra bekerja untuk perusahaan asing. Let's just be honest, kita bekerja bukan hanya semata-mata untuk mengasah kemampuan, memperluas jaringan, atau ekspetasi apapun yang biasa kita sebutkan sebagai "template" pada saat wawancara kerja, lebih dari itu, kita butuh uang untuk hidup. Tolak ukur gaji pun menjadi pertimbangan dalam memilih atau menerima pekerjaan. Mungkin ini jugalah salah satu sumber kenyinyiran: mereka yang bekerja di perusahaan asing "dicap" materialistis, lebih memilih kepentingan pribadi di atas kepintangan bersama, dalam hal ini kepentingan negara.

Begini, saya ga akan bicara tentang nasionalis atau tidak nasionalis. Sempitnya pemikiran sebagian besar dari kita dengan konsep ini membuat saya benar-benar ragu untuk membicarakannya dalam definisi yang masih abu-abu.

Tapi taukah kita, apa yang mungkin tidak akan pernah kita dapat jika kita tidak bekerja di perusahaan asing? etos kerja yang lebih baik.

Sebelum hijrah, saya sempat bekerja 1,5 tahun untuk satu perusahaan konsultan asing, namun khusus menangani proyek-proyek di Indonesia. Satu setengah tahun yang penuh pengalaman berharga, saya jadi paham bobroknya birokrasi di Indonesia, kotornya politik uang untuk proyek izin lingkungan, dan paham bagaimana uang proyek sebegitu mudahnya dimanipulasi. Sebagian besar rekan kerja saya waktu itu adalah orang Indonesia, hanya beberapa karyawan di level manajerial yang berasal dari Belanda. Gaya dan ritme kerja pun jelas mengikuti ala (kebanyakan) orang Indonesia: banyak bicara, sedikit bekerja, dan uang di atas segalanya. Butuh waktu yang cukup lama sampai akhirnya saya benar-benar diberi kepercayaan untuk bekerja secara mandiri, mungkin atasan saya (yang notabene orang Indonesia) juga belum bisa percaya sepenuhnya dengan saya yang baru lulus sarjana beberapa bulan pada saat itu.

Saya pun secara tidak sadar bekerja seperti robot, hanya mengerjakan, hanya mendalami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab saya. Saya hanya menunggu apa yang selanjutnya bisa saya tangani. Terpaku pada sistem kerja 8-5, 5 hari seminggu, belum termasuk lembur, belum termasuk site visit. Dampaknya apa? bosan. Dampaknya apalagi? Tidak fokus. Maka jangan heran, di balik kubikel-kubikel kantor di gedung-gedung pencakar langit Jakara, ditemukanlah individu-individu yang main ponsel, ngobrol, atau bahkan nonton film pada saat jam kerja. Maka jangan heran, ketika mereka selalu mencari tempat yang bisa membayar mereka dengan bayaran yang lebih tinggi, simply karena mereka tidak punya hal yang dicari selain itu, ketika kreativitas sudah mati (atau dimatikan oleh sistem). Saya jelas tidak menyesal, pekerjaan saya dulu membawa saya menemukan minat saya, yang akhirnya menguatkan niat saya untuk sekolah lagi, yang akhirnya membawa saya pada apa yang sedang saya jalani saat ini.

Saat ini saya bekerja di salah satu perusahaan energi di Jerman. Baru dua minggu, namun apa yang saya tangani dan hadapi dalam waktu dua minggu, mungkin hanya bisa saya dapatkan setelah 3 bulan bekerja ketika di Indonesia dulu. Saya dibiarkan bekerja secara mandiri dengan kepercayaan mereka yang penuh, namun jelas mereka sangat terbuka untuk pertanyaan atau diskusi ketika saya merasa butuh. Tidak pernah ada situasi suruh-menyuruh on daily basis, bahkan tidak ada strata antara staf dan bos. Kami semua duduk di dalam satu ruangan yang sama, fasilitas yang sama, bahkan deretan meja yang sama. Tidak ada aturan untuk "absen" di mesin ketika datang dan pulang, mereka semua sadar dengan tanggung jawab mereka masing-masing. Apa ada yang pulang sebelum waktunya (perusahaan menerapkan peraturan untuk tidak pulang sebelum jam 4 sore)? tidak ada. Kecuali pekerjaan lapangan, mereka tidak mengenal sistem lembur di sini, oleh karena itulah dengan waktu yang terbatas mereka akan berusaha seproduktif dan seefektif mungkin dalam bekerja.

Pekerjaan pertama saya kemarin adalah diminta untuk mengkaji ulang target corporate sustainability dan juga workplan dari semua cabang berdasarkan kondisi aktual business unit di lapangan. Bingung? Saya juga awalnya. Ini jelas bukan kebutuhan perusahaan saat ini, namun mungkin akan dibutuhkan untuk perkembangannya di kemudian hari. Mereka butuh otak-otak yang masih segar dan tidak "company-blinded" untuk meramu formula yang mungkin akan dibutuhkan oleh perusahaan untuk tetap bertahan dan bersaing. Disinilah saya dipaksa untuk mengasah kemampuan yang sesungguhnya. Ketika saya bingung dan bertanya pada atasan, beliau tidak serta merta menjawab a atau b atau c, namun mengarahkan logika saya berjalan menuju a atau b atau c, sehingga saya tau alasan mengapa harus a atau b atau c. Dengan kata lain, saya disuruh lebih banyak berfikir, bukan menunggu untuk disuapi. Apa yang saya rasakan adalah mereka menerima pekerja bukan sebagai kuli, tapi sebagai partner dimana sebetulnya ada simbiosis mutualisme disitu, sama-sama membutuhkan.

Bagaimana dengan budaya kerja?
Work-life balance adalah isu yang sangat penting di Jerman. Mereka percaya keseimbangan hidup adalah kunci segalanya. Maka jangan heran, jika mereka sedang cuti untuk liburan, mereka berhak untuk menonaktifkan segala jaringan yang terhubung dengan pekerjaan kantor. Bahkan di tempat saya bekerja, telepon/e-mail yang berhubungan dengan pekerjaan di hari sabtu/minggu/libur adalah dilarang dan termasuk ke dalam pelanggaran.

Jam kerja bukan ukuran suatu pekerjaan selesai atau tidak, target terpenuhi atau tidak. Kalau kalian tau, Finlandia adalah negara dengan jam belajar (jam sekolah) paling sedikit di dunia, namun menariknya, justru Finlandia lah negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Ini yang saya sebut sebagai etos kerja yang lebih baik. 

Ah tapi kan ga semua orang bisa bekerja di perusahaan asing? Well, kita tidak punya kewajiban untuk bekerja atau tidak bekerja di perusahaan asing, bahkan di perusahaan manapun. Negara yang sedang berkembang seperti negeri ini membutuhkan banyak tenaga dan ahli di semua bidang. Kita, yang bisa kita lakukan adalah terus memantaskan diri. Sekali lagi, bekerja adalah pilihan, namun kita punya cukup kecerdasan untuk memilah dan memilih. Tidak semua perusahaan nasional buruk dan tidak semua perusahaan multinasional juga baik sistemnya. Namun jika kita masih diberi kesempatan dan keleluasaan, mengapa tidak memilih yang lebih baik?

Kalau kita terbelenggu pada satu sistem yang tidak sehat, apa kita akan tetap bertahan demi tetap "dicap" sebagai nasionalis?



Satu Tahun



Masih dalam rangkaian peringatan satu tahunan saya di benua ini. Sebenarnya sih saya ga pernah ngerayain atau apa, tapi saya selalu ingat tanggal-tanggal bersejarah dalam hidup saya. Saya bahkan bisa mengingat tanggal terakhir kali makan nasi (well, saya ga setiap hari makan nasi :p). Satu tahun yang pernah naik dan pernah turun, pernah juga datar.

Kemarin saya menjemput adik kelas yang kebetulan satu almamater di Bandung dulu dan akan melanjutkan studinya di jurusan yang sama dengan saya. Setahun disini membuat saya hafal luar kepala rute angkutan umum di kota ini hingga menit-menit kedatangannya, saya mungkin bisa jalan dengan mata tertutup dari rumah ke Munich Airport. Bandingkan dengan setahun lalu, jangankan rute angkutan umum, satu-satunya kata dalam Bahasa Jerman yang saya bisa hanya "Danke". Jangan tanya kemana hasil les Goethe saya di Indonesia selama ini, semua buyar ketika harus berkomunikasi langsung dengan orang Jerman, di Jerman. Sekarang? Ya tetap masih belum fasih, tapi paling tidak, sekarang saya bisa bilang bahwa Bahasa Jerman adalah bahasa ketiga saya :)

Ketika menjemput si adik kelas di bandara kemarin, saya ga bisa menghalangi pikiran saya untuk terbang kembali ke suatu hari di bulan Oktober, setahun lalu. Saat paspor saya dicek dan dicap di gerbang imigrasi, saat pertama kali saya terpukau dengan segala keteraturan di negeri ini. Koper 29 kilogram + backpack 7 kilogram + tas jinjing rasanya ga ada apa-apanya dibanding rasa senang, syukur, dan penasaran menghadapi apa yang akan terjadi di depan.

Saya punya prinsip bahwa hidup kami, pelajar rantau di negeri orang memang indah, namun tidak seindah apa yang kami gambarkan di media sosial. Singkatnya, hidup kami tidak seindah facebook/path/instagram dan sejawatnya. Saya pernah kena denda karena lupa bawa tiket kereta, pernah ga bisa ambil duit di bank karena kena limit, pernah dimaki petugas waktu ngurus residence permit, diusir satpam karena mau tidur di bandara, dibantai sama professor waktu presentasi, dan masih banyak kesialan lain. 

Menyesal? Sama sekali tidak.

Semakin saya dewasa, semakin saya bisa melihat bahwa tiap orang punya jalan dan lewat jalan apa ia ditempa hidup. Saya semakin paham bahwa ada banyak alasan bagi tiap orang untuk memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Salah satunya bagi saya, saya punya alasan kuat untuk mengejar kebanggaan orang tua saya terlebih dahulu, yang juga menjadi alasan bagi saya untuk belum akan menikah dalam 2-3 tahun mendatang. Kenapa tiba-tiba saya mengkaitkannya dengan pernikahan? Karena memang topik ini sedang hangat dibicarakan di usia saya, ada yang sangat semangat menggebu-gebu, ada yang merasakan peer pressure, ada yang biasa saja, dan ada orang-orang seperti saya ini yang hanya bisa mengamati dari jauh.

Saya punya pertimbangan, mereka pun pasti punya pertimbangan.

Masalahnya hanya sebagian dari kita, yang baru saja menjadi dewasa ini, belum terbiasa dengan keragaman hidup yang Tuhan ciptakan bagi tiap orang. Kita terbiasa seragam ketika sekolah dulu, bahkan baju pun diseragamkan. Kita terbiasa dengan ranking, yang paling belakang selalu berarti yang paling jelek/bodoh. Lagi-lagi sistem pendidikan.

Saya tidak akan membahas soal sistem pendidikan di Indonesia. Saya punya banyak kekecewaan dengan negeri saya sendiri, namun rasa cinta saya pun juga sangat besar.

Satu hal yang saya bisa janjikan kepada tanah kelahiran saya, bahwa suatu saat saya akan kembali lagi dan memberi apa yang saya bisa, selagi bisa. Mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, atau beberapa tahun lagi sampai akhirnya saya kembali.

Untuk sementara, biarkan saya terus ditempa untuk menjadi lebih tajam.


F


A Year

My life has been pretty much like an adult roller-coaster, moving on at constant pace, but I know it's absolutely going to risk my life with its killing speed at some point. It's been a year since I left Jakarta behind and through its ups and downs, I know I'm still alive. I told my mom that I'm planning to go back to Jakarta for a short vacation next year - just for a short as I need my support system back fulfilling my never ending black hole of missing my parents, before dealing with thesis and works. 

"I can't wait until I see you, you, are still the same person, but now with tons of stories that have made you wiser and stronger." she said.

I am
I don't know what other life would've been like; all I know is now I'm having kind of life that I want. I got accepted by the company that I've been dreaming of to do my internship for the next six months which was actually beyond my expectation. So I will move out from Munich, rebuilding my other life in the new city, again. Now I feel more like I'm flipping through the tv channel with my own remote control, settling down is not my thing, at least at the moment.

1. December last year, I had a beautiful Christmas trip with my bestfriends that I honestly never thought that we could be traveling together in Europe. Well, it wasn't a white Christmas though..

2. I had a warm new year celebration with my second family here in Munich and I miss them (some of them have already left now)

3. I don't usually have extraordinary birthday and this year too, I didn't. But I had a really warm small birthday party with home-made cake and sushi while it was still snowing outside. And oh, I think I had my favorite birthday's present :)

4. Academic stuffs; one project, 2 big presentations, 4 final papers, and no retaking exams. That's enough I guess :p

5. Traveling to Italy, Switzerland, Austria, Norway, and Sweden in March. 

6. Traveling to Berlin and watching Justin Timberlake live in concert in April

7. Finally taking Renewable Resources and Energy to be my concentration field which is my purpose of life and...more demanding assignments.

8. Traveling to Dresden in May with two silliest bestfriends

9. Almost-summer roadtrip to the lower Bavaria with classmates

10. Traveling to Czech; going to the holi-festival

11. I never thought that I would study my master in the country that would win the World Cup! So blessed to feel the euphoria

12. Academic stuffs; all went well, as per plan

13. Had a mood-booster reunion with old friends in Stuttgart

14. Celebrating Eid away from home for the first time. Not as bad as I thought, but still it wasn't as beautiful as usual

15. Got the internship that I want! and so, planning to go back to Indonesia for vacation next year right after completing my internship. Nasi padang here I come

16. Had a week full of laziness in the Netherlands :)))

17. My best friend, Waode Nurzara, already arrived here in Europe

But above all, the only blessing I couldn't thank enough to God is seeing my parents happy, healthy, and blessed. I can't wait to finally have them here around me in Europe :)

And I only can thank God for letting these ups and downs, thank to whoever in this universe responsible for creating the roller-coaster of mine, 

and to the love I found here.



and still counting..




Sonnet XVII (I do not love you)


I do not love you as if you were salt-rose, or topaz,
or the arrow of carnations the fire shoots off.
I love you as certain dark things are to be loved,
in secret, between the shadow and the soul.
I love you as the plant that never blooms
but carries in itself the light of hidden flowers;
thanks to your love a certain solid fragrance,
risen from the earth, lives darkly in my body.
I love you without knowing how, or when, or from where.
I love you straightforwardly, without complexities or pride;
so I love you because I know no other way than this: 
where I does not exist, nor you,
so close that your hand on my chest is my hand,
so close that your eyes close as I fall asleep.
- Pablo Neruda
----------------------------------------------------------------------------------------------

Books & Beyond



"You know why I love books and my bike so much?"

"Why?"

"They can bring me anywhere I want."



Scandinavia Trip: Tips & Tricks

Setelah post tentang trip saya ke Skandinavia bulan lalu, kali ini selagi ada waktu karena (akhirnya) semester ini baru aja usai, saya pengen sharing tentang tips & trick bagaimana merencanakan trip ke negara-negara mahal tersebut. 

Disclaimer: saya ga berani bilang bahwa trip Skandinavia yang saya lakukan bulan Maret lalu sukses besar. Ada beberapa rencana yang batal saya lakukan seperti pergi ke Tromsø dan hiking ke Fjord (instad, saya menelusuri Fjord dengan kapal). Tapi kalo dari segi budget, bisa dibilang sukses lah ya. Saya "hanya" menghabiskan sekitar 400an euro (termasuk transportasi, tiket pesawat PP Munich-Oslo) untuk total 9 hari, 2 negara, dan 4 kota.


1. Tiket keberangkatan
Saya menggunakan maskapai Norwegian dengan rute Munich-Oslo-Munich. Ini adalah budget airline-nya Norwegia. Dibanding SAS atau maskapai lain, Norwegian jauhhh lebih murah, fasilitas standar. Penerbangan dari Jerman (misalkan dari Munich) ke Oslo bisa cuma 80an euro PP!

2. Itinerary
Rencanakan rute perjalananmu termasuk pada musim apa kamu akan pergi. Skandinavia itu besar dengan landscape yang luar biasa indah. Musim sangat mempengaruhi tempat dan kegiatan apa yang bisa kamu kunjungi. Misal, jika kamu pergi saat winter, kamu bisa fokus untuk mengejar aurora di bagian utara, jika kamu pergi saat summer, kamu bisa hiking ke beberapa bukit/gunung atau bahkan midnight sun.

Tips:
- Cek & ricek dulu di sini atau di sini (khusus untuk Norwegia)
- Buka google maps, track jalur, biar kamu ada gambaran seberapa jauh jarak antar kota yang akan kamu kunjungi

3. Akomodasi
Salah satu hal yang membuat total pengeluaran saya masih masuk akal adalah karena selama 9 hari, saya ga nginep di hostel sama sekali. Di Oslo, Stockholm, dan Stavanger saya nginep di tempat teman-temen yg kebetulan sedang kuliah di sana (sebenernya temennya temen sih, tapi demi menekan budget sih ga ada kata sungkan! plus bisa nambah kenalan juga kan..). Di Bergen, karena ga punya kenalan dan memang cuma semalam, kami memutuskan untuk tidur di airport.

Tips
- Jangan sungkan cari tempat nginep gratis! bisa cari tumpangan di couchsurfing atau kalo nyamannya sesama orang Indo, bisa kontak lewat grup PPI di kota masing-masing, atau tanya kenalan. Selain ga perlu keluarin uang buat akomodasi, bisa sekalian nambah teman dan punya guide lokal juga kan? Tapi jangan lupa bawa sesuatu dari tempat asal kita untuk oleh-oleh buat tuan rumah ya :)
- Nginep di airport biasa saya lakukan kalo kepepet; harga hostel mahal, cuma semalam, dan besok paginya sudah harus cabut. Nah, sebelum main hajar gelar kain di airport, saya biasa cek dulu di sleepinginairports ini. Di sini ada review tentang airport-airport yang pernah diinepin sama traveler-traveler, jadi kita bisa tau kira-kira memungkinkan ga untuk tidur disana, banyak ga yang tidur disana. Jangan sampai pas lagi enak-enaknya tidur tiba-tiba malah diusir satpam hehe.

4. Transportasi antar/dalam kota

Tram di Stockholm

- Selama di Skandinavia, saya selalu memakai jasa kereta dari satu kota ke kota lain. Tiket bisa dibeli online di sini (untuk Norwegia) dan di sini (untuk Swedia) atau beli langsung dari mesin di stasiun. Jangan lupa untuk memilih "reduced price" karena untuk pelajar diberi harga khusus!
- Untuk transportasi dalam kota, kamu bisa beli tiket satuan atau harian yang bisa dibeli online, di mesin atau di supermarket seperti 7eleven dan Navesen. Tapi cek dulu, kalo tourist attractionnya ga jauh satu sama lain, cuaca bagus, dan enak buat dipake jalan kaki aja, kenapa harus beli tiket? #padangmodeon

Untuk Oslo, harga day ticket untuk dewasa adalah 90 NOK ~ Rp. 167.000/24 jam
Untuk Stockholm, harga day ticket untuk dewasa adalah 115 SEK ~ Rp.197.500/24 jam (juga valid untuk penyeberangan ferry dari Slussen ke Djurgården dengan Waxholmsbolaget)

Tips: Jika kamu akan pergi ke Oslo dan Bergen, maka kamu wajib naik kereta. Kenapa? karena jalur Oslo-Bergen adalah salah satu jalur kereta terindah di dunia

5. Makan
Skandinavia adalah negara-negara mahal. Sebagai contoh 1 doner kebab yang biasa di Munich cuma 3-3.5 euro, di Oslo bisa 7-8 euro. 

Tips:
- Bawa/siapin makanan sendiri! kamu bisa belanja di supermarket seperti Rema 1000, Rimi, dan Kiwi (supermarket paling murah) yang pasti akan jauh lebih murah dibanding makan di resto
- Selalu siapin cemilan di tas
- Dengan begitu, kamu bisa save uang kamu untuk beli makanan khas yang emang wajib banget dicoba. Skandinavia terkenal dengan hasil laut yang menggugah selera. Di Stockholm, ada sup ikan yang melegenda dan wajib coba.

Bawa bekel sendiri, makan di taman. That's what Europe is for.


6. Uang
- Hampir semua transaksi dilakukan cashless (even di toko kebab yang kecil)
- Sebelum gesek sana sini, cek dulu apakah kartu kamu bisa dipakai di negara-negara Skandinavia. Jika bisa, ada biaya tambahan atau ga.
- Ambil uang secukupnya. Dibanding ribet-ribet tuker uang ke money changer, saya lebih suka tarik langsung dari atm di sana 
- At the end of the day, selalu rekap pengeluaran di hari tersebut (jangan lupa bawa kertas & pulpen)
- Ketika sudah kembali ke rumah, print rekening bank. Sekembalinya saya ke Munich, saya langsung print rekening bank saya dan cocokin sama catatan yang saya punya

7. Lain-lain
- Jika kamu bepergian di saat winter, siapkan outfit sebaik mungkin. Ingat, Skandinavia terletak di utara, semakin utara kamu berjalan, maka suhu akan semakin rendah. Ketika saya ke sana di akhir Maret, masih ada salju yang turun padahal di Eropa Barat sudah mulai masuk spring
- Sepengalaman saya, orang-orang di Norwegia dan Swedia (terutama Stockholm) dapat berbahasa inggris dengan baik. Petunjuk arah pun selalu tersedia dalam bahasa inggris. Tapi ga ada salahnya mengucapkan "terima kasih" dalam bahasa mereka: "Takk!" (Norsk)
- Jika ingin membeli souvenir jangan ragu buat membandingkan harga. Saya selalu beli kartupos tiap jalan-jalan dan rata-rata toko souvenir juga menjual perangko. Jadi kamu bisa tulis dan kirim langsung kartupos dari Skandinavia ke orang-orang tersayang :)


8. ENJOY!
Skandinavia bagi saya ga cukup didatangi sekali, ga ngebosenin, dan beda dari tipikal kota-kota Eropa pada umumnya. Lagu "I Left My Heart in Scandinavia" memang benar adanya :) so enjoy the trip while you can!




Eid Mubarak!


Setelah tinggal di sini dan menyadari bahwa lebaran kali ini akan biasa-biasa aja, saya jadi ga kepikiran buat ngapa-ngapain. Masak pun nggak, males banget rasanya belanja cari bahan-bahan yang berarti harus ke toko asia. Kebetulan minggu ujian sudah di depan mata ditambah beberapa deadline yang datang menghadang, jadi deh hari-hari terakhir Ramadhan diisi dengan bolak-balik biblio, belajar bareng, dan urusin beberapa kerjaan. 

Rencana saya di hari lebaran hanyalah solat ied di aula tempat biasa muslim Indonesia Munich berkumpul, makan-makan, silaturahmi sebentar, lalu pulang karena besoknya ada satu ujian. Untung aja saya ga harus ujian di hari pertama lebaran, kalau iya, bisa dipastikan ga ada kata "lebaran" dalam kamus hidup saya tahun ini.

Malam takbiran saya ditemani oleh slide-slide bahan ujian, kertas coret-coret, dan video call bersama sahabat-sahabat saya di Belanda dan Perancis. Malam itu nyaris ga ada bedanya dengan malam-malam lain, malah lebih sunyi, ga ada suara tetangga ngobrol atau keriaan dari bar di lantai atas, sebagian besar dari kami memang sedang mempersiapkan ujian, sebagian lagi sudah pergi untuk liburan musim panas. Saking rindunya dengar takbir, saya sampai cari rekamannya di youtube :'). Masih merinding tiap kali denger takbir, lebih merinding lagi karena ini pertama kalinya saya berlebaran idul fitri (karena lebaran idul adha udah 3 tahun terakhir ga pernah di rumah lagi) jauh dari keluarga. Tiba-tiba jadi delusional ngebayangin "Jam segini biasanya udah disuruh Mama nyapu sama ngepel rumah", "Jam segini biasanya rumah udah mulai rame kedatangan keluarga dan suara tuyul-tuyul kecil yang ga terhitung jumlahnya". Tambah sedih lagi kalo buka timeline media sosial yang berisi postingan orang-orang menyambut serunya Idul Fitri.

Pagi hari waktu Indonesia, saya berusaha nelfon Papa Mama tapi tidak ada jawaban. Percobaan kedua, saya ditolak mentah-mentah aja dong, alasannya karena di rumah lagi rempong berat tamu-tamu mulai dateng huhu. Akhirnya saya baru sempat nelfon agak lama waktu mereka lagi dalam perjalanan menuju bandara (yes, ke Padang! #iri). Ternyata rasanya biasa aja, ga ada adegan mewek-mewek di telfon haha.

Saya sendiri cuma merayakan lebaran dengan solat ied, makan-makan, dan silaturahmi. Lontong, rendang, opor, sambel goreng ati, acar, dan telor balado pun akhirnya masuk juga ke perut ini plus kue kering wajib kaastengels, nastar, dan putri salju plus pulangnya bawa bekel cake dan anggur haha. Lumayan lah berkah lebaran buat anak mahasiswa :')

Kalo boleh tuker sih pasti pengen ada di Indonesia pas hari lebaran. Tapi nanti jadi ga punya bahan buat diceritain dong, gimana rasanya lebaran di rantau. Lebaran pertama dan sepertinya masih akan ada lebaran-lebaran berikutnya yang harus dilalui jauh dari rumah. Yah namanya juga hidup, kalo gitu-gitu aja kan ga rame. Bukan begitu, bukan?


"Walaupun banyak negeri kujalani, yang mahsyur permai di kata orang, tetapi opor dan lontongku~ disanalah kurasa senang~"

How I miss winter


Hi R,

If you're wondering where have I been these days, I would answer: I'm still here, playing with the sun. I was born and raised under a constant level of sunshine, this is probably the best reason why I'm such a huge fan of the sun. 

But then I realized that I miss my winter time.

R, 
it is hard to live with many options when you have to choose one. The bitterly cold winter looks scary to me, but there I learned how to appreciate the warmth. While summer seems to provide the joy and whoop, I started to learn about falsity. 

Let me tell you that it is not always about the season, it is more about how you feel. It is not always about choosing or being chosen, it is more about what you have learned. 

R,
Too early for you to get the message, but I can tell you that Stockholm is one of the most romantic places to gaze the snow.


Love,

F

die Wand

"Das Leben gehört den Lebenden an, und wer lebt, muss auf Wechsel gefasst sein."





A Letter: Ramadhan

Ramadhan has always been special to me. I remember last year, I spent the the holy month for the first time without my other half. Tough, but it was still wonderful. I remember last year, just few days before Eid, I got a letter from Germany, it was the time when I couldn't help my tears, another dream came true. Alhamdulillah.

It may sound cheesy for some of you, but I couldn't help myself for not being blue when Ramadhan's coming. For us here, Ramadhan means home and home means heart and when it comes to the heart, a strongest human being could be more vulnerable than ever. Not to complain about our 18-hours-of-fasting-because-of-this-summer-time, but more about the precious time we missed. The family, foods, friends, togetherness, the state of being closer to other people, everything. 

I was once saying to my friend that, living abroad isn't for everyone, it takes a special person to do so. It does, I would never have discovered a better version of myself otherwise, if I didn't take the chance, 10 months ago. 10 months? yes, its been 10 months since the last time I checked in from "Jakarta" in Path (hahaha). I really, I have to say that time flies in perfect manner. Ten months with happiness, laughs, joy, curiosity, anxiety, losing grip, traveling times, gloomy days, sleepless nights, silly things, and of course, love. I still need more to complete it all.

But the thing about Ramadhan is, I could never replace it with anything else. For the first time I would say, I really wish I was there. I really wish.

Love,


Musim Panas, Warna, dan Cinta






Di musim dingin, orang-orang berjalan terlalu cepat, entah apa yang dikejar. Mungkin kedinginan
Di musim dingin, langit selalu abu-abu, semua memutih, semua diam
Di musim dingin, bahkan seringkali aku tidak bisa merasakan tanganku sendiri
Di musim dingin, aku rindu matahari, aku rindu rumahku yang penuh matahari

Di musim panas, semua berwarna
Seperti buku mewarnai yang tadinya kosong, satu persatu semesta mewarnainya dengan gembira
Keringatku yang menunggu untuk keluar selama delapan bulan terakhir, akhirnya menemukan salurannya
Di sana berwarna, di sana ada cinta

Salam dari Niederbayern,

F



Wanderlust

Back to the time when I was still in Indonesia, traveling was more like just-a-vacation stuff which you may probably choose when you have spare money out of the saving and bored with those mall-hopping-weekend-getaways. Traveling was restricted to only getting more sunburned under the massive sunshine over the beach, posting a pic, wearing summer dress. Nothing wrong here, well I believe there's no rule in having fun, what used to be wrong might be right for some others, vice versa.



I had a pretty demanding job which allowed me to fly a lot, dropped me in the middle of unconnected area somewhere in Borneo, making the line between traveling and real life even more blurry than I could think of. I remember the feeling of waking up at 3 in the morning, running for the first flight. I remember the day when I was talking to my brother before my departure to Borneo, which later I knew, it was the last time I talked to him. I remember the feeling of getting back to work again while half of me has gone.

and the first time I stepped my feet on the ground, after a tiring 18-hours flight from Jakarta to Munich, it was the time to redefining what traveling is. 



I couldn't stop my wanderlust for going wild here. I made it to Norway, I survived a bitterly cold winter in Sweden, I slept at the airport in Switzerland just because I couldn't afford a room, soaked in the crowd of festival in Venice, strolled around the city of Alps, and so on. Those things, somehow, have strengthened my lust to go more miles. Obviously, it has nothing to do with just having fun and spending euros, nor taking enviable pics. 

Let me redefine what traveling is,
Traveling is a media, not a purpose. Traveling is a way, not the objective.
because once you make traveling as a purpose, you will eventually stop doing it someday.


Love,

Me
Few days before traveling again




In Spring


"Do you miss home?"

"Sure, I do."

"Will you miss this place when you're going home?"

"Sure, I will."

"So, what's the point of that?"

"It's just the love with different doses."


Salzburg, Austria, in Spring.

Berlin


Berlin might be my least favorite city; it's crowded, busy, not-so-friendly, a typical big city you don't want to live in. But Berlin, one of the most historical cities in Europe has something to bring me back, someday.

Being destroyed back in early 1900 and led by capitalism and communism, Germany suffered from its gloomiest era in history, there's no sign that this country would be one of the strongest countries in the future. I found myself walking down the gap between the greyish blocks in the Holocaust-Mahnmal; the memorial of the murdered Jews. Confusing, desolating, and distressing at the same time, but that's the point. Our tour guide said it was the feeling the designer would like to build, the feeling of loss. 

The Berlin Wall, the sign of separation between the east and the west has been a symbol of disconnection for a long time. Imagine you're separated from your loved ones without knowing when or how you're gonna meet again, we all know how it feels.

The Brandenburger Gate, the Adlon Hotel, and the bunker where Hitler killed himself are parts of their history, the scars that have yet to heal. It's interesting to know that I grew up with Berlin, since the German reunification in 1990 and the fall of Berlin Wall. The country is going strong, Berlin has grown up since then. The city with its skyscrapers, headquarters, edgy arts, musics and movies makes it the sexiest city that every young head wants to live in, but without a doubt that Berlin would ever forget its root and history.


That's what I've learned; living away from home for more than half a year has made myself less judgmental. You know, I came from the society where judging people is common and acceptable. Right and wrong are based on what people see and hear, a conclusion comes without confirmation, no space for explanation.

Berlin with its cosmopolitan appearance might be wrong for some people, but take a closer look then you'll find out that Berlin is actually trying to get rid of their dark times though it still can't shake off the old.

And so it changed, while others never tried at all.


Akhirnya Skandinavia






Traveling ke negara-negara Skandinavia selalu masuk dalam bucket list saya dan Norwegia selalu jadi negara pertama yang wajib dikunjungi dibanding negara-negara saudaranya yang lain. Wacana mengunjungi Skandinavia sudah ada sejak saya tau akan tinggal di Jerman dalam beberapa tahun ke depan (haha!). Pokoknya selama tinggal di benua biru ini harus sempat ke Skandinavia (walaupun tau setelah itu akan langsung jatuh miskin). Namun saat itu hanya jadi sekedar wacana saja karena saya harus cari jadwal libur kuliah (udah bela-belain ke Skandinavia, rugi banget kalo cuma 3-4 hari, kan?), harus cari tiket murah (maklum, mahasiswa), dan yang paling utama adalah mempersiapkan tabungan yang cukup.

Wacana akhirnya berubah menjadi rencana. Perburuan tiket Munich - Oslo pun dimulai. Mulai dari cek web tiap detik, dateng ke agen travel, sampe datengin Munich Airport semua dilakuin, demi dapet tiket semurah-murahnya. Tiket sudah di tangan, rasanya seneng luar biasa. Nelfon Ayah buat ngabarin, dia malah balik nanya: "Norway aja? gak ke negara tetangganya yang lain sekalian?". Woohoo, your wish is my command, Daddy!

Rencana awal adalah mengejar Aurora Borealis di Tromsø, kota di utara Norwegia yang sudah masuk lingkar Arktik, yang katanya hanya berjarak sekitar 350 km dari pusat kutub utara. Disinilah, menurut review-review traveler hardcore, Aurora dapat terlihat. Namun apa daya, rencana tinggal rencana. Setelah berpikir matang-matang terutama dari segi keuangan, saya membatalkan rencana ke Tromsø dan menggantinya dengan mini tour keliling Norwegia dan Swedia saja. Semoga masih diberi kesempatan melihat Aurora di lain waktu, amin!

Setelah berunding dan ngecek ini itu, diputuskanlah bahwa saya (dan teman) akan menghabiskan waktu 9 hari (full, ga pake leyeh-leyeh) di 4 kota (Oslo, Stockholm, Stavanger, dan Bergen), 2 negara. Persiapan pun kami lakukan, mulai dari mengontak teman-teman di sana sampai memilih 3 baju (saja) untuk 9 hari perjalanan (Ooops sori buat yang harus selalu geret-geret koper, kita mah anaknya ranselan aja :p).

Selain berkeliling kota, pergi dari satu taman ke taman lain, mengejar sunset di pulau kecil di Stockholm, dan mengunjungi istana, akhirnya kami sampai juga di Preikestolen yang terkenal itu. Menyusuri Lysefjord walaupun angin laut utara menerjang hebat dan minum lelehan gletser. Jangan tanya berapa uang yang kami "ikhlasin" buat nyampe ke Fjord, mending ga makan deh daripada udah jauh-jauh ke Norway tapi ga ke Fjord #prinsip. Alhamdulillah, satu bucket list berhasil terpenuhi.




Lysefjord

Menyusuri pegunungan es di atas ketinggian lebih dari 1200 meter selama 7 jam perjalanan Bergen - Flåm - Oslo yang kata orang adalah Europe's Top Scenic Train Routes, benar-benar bikin merinding. Saya ogah tidur barang semenit pun daripada harus kelewatan pemandangan yang bikin nganga lebar.


Masuk ke National Gallery Oslo dan memandangi lukisan-lukisan Edvard Munch. Berpose di depan lukisan "Scream" karya Edvard Munch yang terkenal itu. Membeli kartupos dari setiap kota untuk koleksi pribadi dan untuk dikirim ke orang-orang kesayangan, menerjang badai angin bersalju yang datang tanpa permisi di Stockholm, nyasar ke taman remang-remang, dan memandangi North Sea yang tanpa ujung.

Entah ada daya tarik apa tentang Skandinavia yang membuat saya sangat ingin kesana dari dulu. Mungkin, seperti kata seorang teman: "Kamu ga akan rela menghabiskan uang terakhirmu kalau bukan karena itu adalah mimpi yang ingin kamu wujudkan."

Ketika saya akhirnya menyusuri Fjord, saya berbicara pada diri saya sendiri: "Akhirnya sampai di sini". Saat itulah saya sadar, satu mimpi telah menjadi kenyataan.

Sunset catcher di Stockholm

Stavanger