On Conversation (I)


“If you were given a chance to be a man, what would you do?”

“Me? Well, I might look like any other man in general. Playing sports, watching football match at odd hours, doing extreme activities, flirting with girls, smoking, getting drunk, watching porn, and..... what else?”

“Dont you think, like, all of the things you just mentioned, somehow, are the most hated by females? And it’s going to be an obvious definition of, hmm bad boys?"

“Bad? Which side you consider as ‘bad’? Flirting? Smoking? Watching porn? Here I tell you, I believe someone’s traits were affected by factors in and out of him. Above all, what you considered as ‘bad’ were born and still running through their blood, they are running in their genes with a combination of hormones. They’re natural. If you dont want them there, then you should probably kill him and his cells, I mean his whole body.”
“What makes them different is how they can control and deal with it. If I were a man, I want to be a normal man doing what men used to do, no more and no less.  But I wish, I could control more and the most importantly, I would stop asking...’what if you were a man, what if you were a woman’.”

“Why?”

“Since men and women are genetically different. Since men and women have the different chromosomes arrangement. Since X and Y chromosome has distinct function and structure. Since the twins can be so much different. And since I’m only a human, not God, I dont have any priviliges to judge something.”

------------------------------


Today is finally yours, cherie









Thank you for those wonderful 4 years, congratulation, and good luck, bestfriends.
Today is finally yours
Bandung, 14 April 2012

Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran


Suatu malam, saya benar-benar tidak bisa tidur dan mati gaya apa lagi yang harus saya lakukan. Saya penikmat blog, tapi laptop sudah keburu dimatikan dan terlalu malas untuk sekedar tersambung ke internet lagi. Saya membuka rak buku pribadi. Saya termasuk picky dalam memilih dan membeli buku. Jadilah saya menyeleksi buku-buku saya itu satu per satu untuk dibaca ulang. Terakhir saya menyelesaikan Everything is Illuminated oleh Jonathan Foer.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju pada sebuah buku: Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran.

Ha!
Buku ini sudah saya kenal sejak SMA, tapi baru saya baca penuh ketika masih kuliah tingkat satu. Dan seingat saya, belum pernah saya baca ulang. Ya sudah, dengan penuh kekuatan saya ambil dan baca ulang lagi, hingga selesai.

Bagi saya, buku ini adalah salah satu non-fiksi terbaik yang pernah saya baca. Buku ini tidak mengagung-agungkan si tokoh utama dengan prestasi dan pemikirannya seperti kebanyakan biografi lain. Jauh lebih mendalam dari itu, buku ini berisi potongan-potongan pemikiran Gie. Suka atau tidak suka dengan jalan pikirannya itu urusan lain, saya menangkap ada kekuatan di setiap potongan tulisannya. 

Dengan tidak menitikberatkan pada rezim dan pergerakan mahasiswa di tahun 60-an, tahun di mana Gie yang seorang mahasiswa Universitas Indonesia hidup, saya merasa menyatu dan bisa merasakan kejadian dan apa yang dia rasakan saat itu. Sampai kemudian buku ini dibuat menjadi sebuah film, walaupun ada bagian-bagian yang loncat dan tidak detil, nyatanya karena film ini, anak muda dan remaja (pada saat filmnya keluar, umur saya kira-kira masih 16 tahun lah hehe) jadi mengenal siapa Gie, bagaimana pemikirannya, tahu di mana Lembah Mandalawangi berada, mengenal puisi Gie yang sangat romantis dan bahkan terinspirasi untuk naik gunung Semeru. Tak jarang, sebagian dari mereka (termasuk saya) terlarut-larut dalam bukunya, kata-katanya, cerita perjalanannya dan puisi-puisinya.

Satu hal yang menarik dan saya tangkap, di balik sosok vokalnya, Gie adalah seorang penikmat alam sejati. Dia mampu menyerap apa yang tersirat ketika dia duduk diam bersama alam, di hutan, di Mandalawangi. Ini yang jarang dimiliki oleh mereka yang (katanya) bergelut dengan alam bebas. Di luar sana, ada beberapa orang yang merasa dirinya paling jago dan bisa menaklukkan alam, bagi saya, alam bukan untuk ditaklukkan, disombongkan, dan dijadikan sebagai media untuk adu kekuatan. Karena lebih jauh dari itu semua, kita lah yang dibentuk oleh alam. 

Balik lagi, entah bagaimana cara Gie manangkap dan mengolah sinyal yang ia dapatkan dan seakan melebur dalam jalan pikirannya, yang jelas tidak ada kesombongan dari dirinya, paling tidak itu yang saya tangkap. Ada satu line yang menarik dari Gie: "I'm not an idealist, I'm a bitter realist." rasanya adalah sebuah pembuktian sekaligus klarifikasi, bahwa, Gie yang mungkin bagi sebagian orang (yang belum membaca bukunya, mungkin) adalah seorang idealis. Hmm daripada meributkan interpretasi yang bisa berbeda-beda, silakan baca sendiri bukunya..

Bagi yang katanya seorang demonstran (mumpung lagi ramai demonstrasi dimana-mana dan mahasiswa seakan-akan ingin mempertegas statusnya sebagai mahasiswa yang harus revolusioner), silakan baca buku ini. Bisa kok dicermati dan dipelajari apa itu memberontak, kritis, dan apa itu revolusi. Yah mungkin casenya berbeda, karena masa pemerintahannya juga berbeda dengan sekarang.

Bagi yang katanya dekat dengan alam, silakan juga baca buku ini. Silakan temukan jawaban sendiri. Silakan kubur keangkuhan hidup-hidup.

Saya kembalikan buku ke rak dan berharap bermimpi, sedang ada di Mandalawangi, lagi.


Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

Tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

Mari, sini sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit atau awan mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa


Soe Hok Gie

#randomthoughts

Sore kemarin, gue menghabiskan waktu seharian dengan beberapa abang, kakak, dan sudara-saudara gue di elpala (begitu cara kami menyebutnya, bukan lagi sebagai "teman-teman"). Dimulai dari menghadiri sebuah event di Senayan, makan pempek di Megaria (dan sore itu Jakarta mendung dan sangat romantis), dan diakhiri dengan having a quality time sambil minum dan makan-makan kecil. 

Sore itu kami membahas beberapa rencana, dari mulai rencana pendakian kami selanjutnya sampai rencana penyelaman yang sudah kami inginkan sejak lama (semoga terwujud di pertengahan tahun, amin). Semua mengalir, kami masing-masing pastinya memiliki destinasi impian. Komodo, Alor, Tambora, dan lain-lain. Gue sendiri masih penasaran dengan Gunung Rinjani, karena dari SMA (which is sekitar 7 tahun-an lalu) sampai sekarang belum kesampaian. 

When it comes to temptation and pleasure of being in any wild places I've been dreaming of, I could be so impulsive.

Sulit menjelaskan bagaimana rasanya punya mimpi pergi ke suatu tempat atau destinasi yang telah kita impikan sejak lama dan begitu kesempatan itu datang, rasanya seluruh malaikat menyanyikan lagu suka cita dan menari-nari kegirangan. Atau sekedar melihat-melihat gambar dari hasil searching di internet pun rasanya sudah mampu menjadikan mood booster tersendiri.

Yah, kadar mimpi orang memang pasti berbeda-beda. Ada yang tinggi, ada yang cukup sederhana. Bagi yang berkecukupan, mungkin salah satu mimpi duniawi paling pasaran adalah pergi ke suatu tempat (bisa ke luar negeri, bisa ke tempat eksotis dalam negeri), mimpi melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, atau mimpi memiliki barang ini, barang itu. 
Tapi, bagi seorang anak kecil jalanan, mimpi itu bisa jadi adalah hal-hal yang biasa kita lakukan sehari-hari dan tidak ada artinya bagi kita. Sesimpel beli Fanta atau mempunyai cukup uang sehingga bisa masuk dan berbelanja di Carrefour. I recommend you to read this post and see how something which seems normal to us could be so fascinating to someone else.

Rasanya memang kita perlu dikelilingi orang-orang pemimpi. Haha terdengar aneh ya, tapi beneran lho, itu seperti ada kekuatan yang entah datang dari mana. Contohnya bersama orang-orang ini, yang tidak saya kenal baru kemarin sore. 

Mimpi bagi kita simpel, mimpi bisa dimulai dari secangkir kopi, segelas bir, atau dari apapun yang menyeruak seiring tetesan hujan. 
Mimpi bisa sesederhana makan bubur di Cikini atau setinggi menjadi pendaki 7 summits.
Yang membedakan mimpi adalah, cara kita memandangnya, membuatnya tak semu, setitik keberuntungan, dan goresan tinta Tuhan.