Bekerja di Perusahaan Asing (?)

Source: Google


Katanya, ketika masih menjadi mahasiswa (mungkin sebagian besar hanya berlaku untuk mahasiswa strata sarjana) adalah masa dimana idealisme sedang berdiri dengan kokohnya. Saya pernah mengikuti beberapa kegiatan kampus yang hampir setiap hari diisi dengan kajian politik dan kebangsaan, bahkan ketika pertama kali kami disambut di kampus, spanduk-spanduk dengan slogan yang seolah-olah hanya kamilah yang terbaik untuk bangsa ini jelas terpampang di depan kami. Semangat kebangsaan bagi saya memang perlu, untuk menghindari krisis identitas di kemudian hari. Namun ketika idealisme dan semangat kebangsaan diterjemahkan dalam arti yang sempit, konsepnya pun akan berubah. 

Ada satu bahasan yang menarik bagi saya, bahkan hingga saat ini: pro dan kontra bekerja untuk perusahaan asing. Let's just be honest, kita bekerja bukan hanya semata-mata untuk mengasah kemampuan, memperluas jaringan, atau ekspetasi apapun yang biasa kita sebutkan sebagai "template" pada saat wawancara kerja, lebih dari itu, kita butuh uang untuk hidup. Tolak ukur gaji pun menjadi pertimbangan dalam memilih atau menerima pekerjaan. Mungkin ini jugalah salah satu sumber kenyinyiran: mereka yang bekerja di perusahaan asing "dicap" materialistis, lebih memilih kepentingan pribadi di atas kepintangan bersama, dalam hal ini kepentingan negara.

Begini, saya ga akan bicara tentang nasionalis atau tidak nasionalis. Sempitnya pemikiran sebagian besar dari kita dengan konsep ini membuat saya benar-benar ragu untuk membicarakannya dalam definisi yang masih abu-abu.

Tapi taukah kita, apa yang mungkin tidak akan pernah kita dapat jika kita tidak bekerja di perusahaan asing? etos kerja yang lebih baik.

Sebelum hijrah, saya sempat bekerja 1,5 tahun untuk satu perusahaan konsultan asing, namun khusus menangani proyek-proyek di Indonesia. Satu setengah tahun yang penuh pengalaman berharga, saya jadi paham bobroknya birokrasi di Indonesia, kotornya politik uang untuk proyek izin lingkungan, dan paham bagaimana uang proyek sebegitu mudahnya dimanipulasi. Sebagian besar rekan kerja saya waktu itu adalah orang Indonesia, hanya beberapa karyawan di level manajerial yang berasal dari Belanda. Gaya dan ritme kerja pun jelas mengikuti ala (kebanyakan) orang Indonesia: banyak bicara, sedikit bekerja, dan uang di atas segalanya. Butuh waktu yang cukup lama sampai akhirnya saya benar-benar diberi kepercayaan untuk bekerja secara mandiri, mungkin atasan saya (yang notabene orang Indonesia) juga belum bisa percaya sepenuhnya dengan saya yang baru lulus sarjana beberapa bulan pada saat itu.

Saya pun secara tidak sadar bekerja seperti robot, hanya mengerjakan, hanya mendalami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab saya. Saya hanya menunggu apa yang selanjutnya bisa saya tangani. Terpaku pada sistem kerja 8-5, 5 hari seminggu, belum termasuk lembur, belum termasuk site visit. Dampaknya apa? bosan. Dampaknya apalagi? Tidak fokus. Maka jangan heran, di balik kubikel-kubikel kantor di gedung-gedung pencakar langit Jakara, ditemukanlah individu-individu yang main ponsel, ngobrol, atau bahkan nonton film pada saat jam kerja. Maka jangan heran, ketika mereka selalu mencari tempat yang bisa membayar mereka dengan bayaran yang lebih tinggi, simply karena mereka tidak punya hal yang dicari selain itu, ketika kreativitas sudah mati (atau dimatikan oleh sistem). Saya jelas tidak menyesal, pekerjaan saya dulu membawa saya menemukan minat saya, yang akhirnya menguatkan niat saya untuk sekolah lagi, yang akhirnya membawa saya pada apa yang sedang saya jalani saat ini.

Saat ini saya bekerja di salah satu perusahaan energi di Jerman. Baru dua minggu, namun apa yang saya tangani dan hadapi dalam waktu dua minggu, mungkin hanya bisa saya dapatkan setelah 3 bulan bekerja ketika di Indonesia dulu. Saya dibiarkan bekerja secara mandiri dengan kepercayaan mereka yang penuh, namun jelas mereka sangat terbuka untuk pertanyaan atau diskusi ketika saya merasa butuh. Tidak pernah ada situasi suruh-menyuruh on daily basis, bahkan tidak ada strata antara staf dan bos. Kami semua duduk di dalam satu ruangan yang sama, fasilitas yang sama, bahkan deretan meja yang sama. Tidak ada aturan untuk "absen" di mesin ketika datang dan pulang, mereka semua sadar dengan tanggung jawab mereka masing-masing. Apa ada yang pulang sebelum waktunya (perusahaan menerapkan peraturan untuk tidak pulang sebelum jam 4 sore)? tidak ada. Kecuali pekerjaan lapangan, mereka tidak mengenal sistem lembur di sini, oleh karena itulah dengan waktu yang terbatas mereka akan berusaha seproduktif dan seefektif mungkin dalam bekerja.

Pekerjaan pertama saya kemarin adalah diminta untuk mengkaji ulang target corporate sustainability dan juga workplan dari semua cabang berdasarkan kondisi aktual business unit di lapangan. Bingung? Saya juga awalnya. Ini jelas bukan kebutuhan perusahaan saat ini, namun mungkin akan dibutuhkan untuk perkembangannya di kemudian hari. Mereka butuh otak-otak yang masih segar dan tidak "company-blinded" untuk meramu formula yang mungkin akan dibutuhkan oleh perusahaan untuk tetap bertahan dan bersaing. Disinilah saya dipaksa untuk mengasah kemampuan yang sesungguhnya. Ketika saya bingung dan bertanya pada atasan, beliau tidak serta merta menjawab a atau b atau c, namun mengarahkan logika saya berjalan menuju a atau b atau c, sehingga saya tau alasan mengapa harus a atau b atau c. Dengan kata lain, saya disuruh lebih banyak berfikir, bukan menunggu untuk disuapi. Apa yang saya rasakan adalah mereka menerima pekerja bukan sebagai kuli, tapi sebagai partner dimana sebetulnya ada simbiosis mutualisme disitu, sama-sama membutuhkan.

Bagaimana dengan budaya kerja?
Work-life balance adalah isu yang sangat penting di Jerman. Mereka percaya keseimbangan hidup adalah kunci segalanya. Maka jangan heran, jika mereka sedang cuti untuk liburan, mereka berhak untuk menonaktifkan segala jaringan yang terhubung dengan pekerjaan kantor. Bahkan di tempat saya bekerja, telepon/e-mail yang berhubungan dengan pekerjaan di hari sabtu/minggu/libur adalah dilarang dan termasuk ke dalam pelanggaran.

Jam kerja bukan ukuran suatu pekerjaan selesai atau tidak, target terpenuhi atau tidak. Kalau kalian tau, Finlandia adalah negara dengan jam belajar (jam sekolah) paling sedikit di dunia, namun menariknya, justru Finlandia lah negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Ini yang saya sebut sebagai etos kerja yang lebih baik. 

Ah tapi kan ga semua orang bisa bekerja di perusahaan asing? Well, kita tidak punya kewajiban untuk bekerja atau tidak bekerja di perusahaan asing, bahkan di perusahaan manapun. Negara yang sedang berkembang seperti negeri ini membutuhkan banyak tenaga dan ahli di semua bidang. Kita, yang bisa kita lakukan adalah terus memantaskan diri. Sekali lagi, bekerja adalah pilihan, namun kita punya cukup kecerdasan untuk memilah dan memilih. Tidak semua perusahaan nasional buruk dan tidak semua perusahaan multinasional juga baik sistemnya. Namun jika kita masih diberi kesempatan dan keleluasaan, mengapa tidak memilih yang lebih baik?

Kalau kita terbelenggu pada satu sistem yang tidak sehat, apa kita akan tetap bertahan demi tetap "dicap" sebagai nasionalis?



Satu Tahun



Masih dalam rangkaian peringatan satu tahunan saya di benua ini. Sebenarnya sih saya ga pernah ngerayain atau apa, tapi saya selalu ingat tanggal-tanggal bersejarah dalam hidup saya. Saya bahkan bisa mengingat tanggal terakhir kali makan nasi (well, saya ga setiap hari makan nasi :p). Satu tahun yang pernah naik dan pernah turun, pernah juga datar.

Kemarin saya menjemput adik kelas yang kebetulan satu almamater di Bandung dulu dan akan melanjutkan studinya di jurusan yang sama dengan saya. Setahun disini membuat saya hafal luar kepala rute angkutan umum di kota ini hingga menit-menit kedatangannya, saya mungkin bisa jalan dengan mata tertutup dari rumah ke Munich Airport. Bandingkan dengan setahun lalu, jangankan rute angkutan umum, satu-satunya kata dalam Bahasa Jerman yang saya bisa hanya "Danke". Jangan tanya kemana hasil les Goethe saya di Indonesia selama ini, semua buyar ketika harus berkomunikasi langsung dengan orang Jerman, di Jerman. Sekarang? Ya tetap masih belum fasih, tapi paling tidak, sekarang saya bisa bilang bahwa Bahasa Jerman adalah bahasa ketiga saya :)

Ketika menjemput si adik kelas di bandara kemarin, saya ga bisa menghalangi pikiran saya untuk terbang kembali ke suatu hari di bulan Oktober, setahun lalu. Saat paspor saya dicek dan dicap di gerbang imigrasi, saat pertama kali saya terpukau dengan segala keteraturan di negeri ini. Koper 29 kilogram + backpack 7 kilogram + tas jinjing rasanya ga ada apa-apanya dibanding rasa senang, syukur, dan penasaran menghadapi apa yang akan terjadi di depan.

Saya punya prinsip bahwa hidup kami, pelajar rantau di negeri orang memang indah, namun tidak seindah apa yang kami gambarkan di media sosial. Singkatnya, hidup kami tidak seindah facebook/path/instagram dan sejawatnya. Saya pernah kena denda karena lupa bawa tiket kereta, pernah ga bisa ambil duit di bank karena kena limit, pernah dimaki petugas waktu ngurus residence permit, diusir satpam karena mau tidur di bandara, dibantai sama professor waktu presentasi, dan masih banyak kesialan lain. 

Menyesal? Sama sekali tidak.

Semakin saya dewasa, semakin saya bisa melihat bahwa tiap orang punya jalan dan lewat jalan apa ia ditempa hidup. Saya semakin paham bahwa ada banyak alasan bagi tiap orang untuk memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Salah satunya bagi saya, saya punya alasan kuat untuk mengejar kebanggaan orang tua saya terlebih dahulu, yang juga menjadi alasan bagi saya untuk belum akan menikah dalam 2-3 tahun mendatang. Kenapa tiba-tiba saya mengkaitkannya dengan pernikahan? Karena memang topik ini sedang hangat dibicarakan di usia saya, ada yang sangat semangat menggebu-gebu, ada yang merasakan peer pressure, ada yang biasa saja, dan ada orang-orang seperti saya ini yang hanya bisa mengamati dari jauh.

Saya punya pertimbangan, mereka pun pasti punya pertimbangan.

Masalahnya hanya sebagian dari kita, yang baru saja menjadi dewasa ini, belum terbiasa dengan keragaman hidup yang Tuhan ciptakan bagi tiap orang. Kita terbiasa seragam ketika sekolah dulu, bahkan baju pun diseragamkan. Kita terbiasa dengan ranking, yang paling belakang selalu berarti yang paling jelek/bodoh. Lagi-lagi sistem pendidikan.

Saya tidak akan membahas soal sistem pendidikan di Indonesia. Saya punya banyak kekecewaan dengan negeri saya sendiri, namun rasa cinta saya pun juga sangat besar.

Satu hal yang saya bisa janjikan kepada tanah kelahiran saya, bahwa suatu saat saya akan kembali lagi dan memberi apa yang saya bisa, selagi bisa. Mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, atau beberapa tahun lagi sampai akhirnya saya kembali.

Untuk sementara, biarkan saya terus ditempa untuk menjadi lebih tajam.


F