Berlin


Berlin might be my least favorite city; it's crowded, busy, not-so-friendly, a typical big city you don't want to live in. But Berlin, one of the most historical cities in Europe has something to bring me back, someday.

Being destroyed back in early 1900 and led by capitalism and communism, Germany suffered from its gloomiest era in history, there's no sign that this country would be one of the strongest countries in the future. I found myself walking down the gap between the greyish blocks in the Holocaust-Mahnmal; the memorial of the murdered Jews. Confusing, desolating, and distressing at the same time, but that's the point. Our tour guide said it was the feeling the designer would like to build, the feeling of loss. 

The Berlin Wall, the sign of separation between the east and the west has been a symbol of disconnection for a long time. Imagine you're separated from your loved ones without knowing when or how you're gonna meet again, we all know how it feels.

The Brandenburger Gate, the Adlon Hotel, and the bunker where Hitler killed himself are parts of their history, the scars that have yet to heal. It's interesting to know that I grew up with Berlin, since the German reunification in 1990 and the fall of Berlin Wall. The country is going strong, Berlin has grown up since then. The city with its skyscrapers, headquarters, edgy arts, musics and movies makes it the sexiest city that every young head wants to live in, but without a doubt that Berlin would ever forget its root and history.


That's what I've learned; living away from home for more than half a year has made myself less judgmental. You know, I came from the society where judging people is common and acceptable. Right and wrong are based on what people see and hear, a conclusion comes without confirmation, no space for explanation.

Berlin with its cosmopolitan appearance might be wrong for some people, but take a closer look then you'll find out that Berlin is actually trying to get rid of their dark times though it still can't shake off the old.

And so it changed, while others never tried at all.


Akhirnya Skandinavia






Traveling ke negara-negara Skandinavia selalu masuk dalam bucket list saya dan Norwegia selalu jadi negara pertama yang wajib dikunjungi dibanding negara-negara saudaranya yang lain. Wacana mengunjungi Skandinavia sudah ada sejak saya tau akan tinggal di Jerman dalam beberapa tahun ke depan (haha!). Pokoknya selama tinggal di benua biru ini harus sempat ke Skandinavia (walaupun tau setelah itu akan langsung jatuh miskin). Namun saat itu hanya jadi sekedar wacana saja karena saya harus cari jadwal libur kuliah (udah bela-belain ke Skandinavia, rugi banget kalo cuma 3-4 hari, kan?), harus cari tiket murah (maklum, mahasiswa), dan yang paling utama adalah mempersiapkan tabungan yang cukup.

Wacana akhirnya berubah menjadi rencana. Perburuan tiket Munich - Oslo pun dimulai. Mulai dari cek web tiap detik, dateng ke agen travel, sampe datengin Munich Airport semua dilakuin, demi dapet tiket semurah-murahnya. Tiket sudah di tangan, rasanya seneng luar biasa. Nelfon Ayah buat ngabarin, dia malah balik nanya: "Norway aja? gak ke negara tetangganya yang lain sekalian?". Woohoo, your wish is my command, Daddy!

Rencana awal adalah mengejar Aurora Borealis di Tromsø, kota di utara Norwegia yang sudah masuk lingkar Arktik, yang katanya hanya berjarak sekitar 350 km dari pusat kutub utara. Disinilah, menurut review-review traveler hardcore, Aurora dapat terlihat. Namun apa daya, rencana tinggal rencana. Setelah berpikir matang-matang terutama dari segi keuangan, saya membatalkan rencana ke Tromsø dan menggantinya dengan mini tour keliling Norwegia dan Swedia saja. Semoga masih diberi kesempatan melihat Aurora di lain waktu, amin!

Setelah berunding dan ngecek ini itu, diputuskanlah bahwa saya (dan teman) akan menghabiskan waktu 9 hari (full, ga pake leyeh-leyeh) di 4 kota (Oslo, Stockholm, Stavanger, dan Bergen), 2 negara. Persiapan pun kami lakukan, mulai dari mengontak teman-teman di sana sampai memilih 3 baju (saja) untuk 9 hari perjalanan (Ooops sori buat yang harus selalu geret-geret koper, kita mah anaknya ranselan aja :p).

Selain berkeliling kota, pergi dari satu taman ke taman lain, mengejar sunset di pulau kecil di Stockholm, dan mengunjungi istana, akhirnya kami sampai juga di Preikestolen yang terkenal itu. Menyusuri Lysefjord walaupun angin laut utara menerjang hebat dan minum lelehan gletser. Jangan tanya berapa uang yang kami "ikhlasin" buat nyampe ke Fjord, mending ga makan deh daripada udah jauh-jauh ke Norway tapi ga ke Fjord #prinsip. Alhamdulillah, satu bucket list berhasil terpenuhi.




Lysefjord

Menyusuri pegunungan es di atas ketinggian lebih dari 1200 meter selama 7 jam perjalanan Bergen - Flåm - Oslo yang kata orang adalah Europe's Top Scenic Train Routes, benar-benar bikin merinding. Saya ogah tidur barang semenit pun daripada harus kelewatan pemandangan yang bikin nganga lebar.


Masuk ke National Gallery Oslo dan memandangi lukisan-lukisan Edvard Munch. Berpose di depan lukisan "Scream" karya Edvard Munch yang terkenal itu. Membeli kartupos dari setiap kota untuk koleksi pribadi dan untuk dikirim ke orang-orang kesayangan, menerjang badai angin bersalju yang datang tanpa permisi di Stockholm, nyasar ke taman remang-remang, dan memandangi North Sea yang tanpa ujung.

Entah ada daya tarik apa tentang Skandinavia yang membuat saya sangat ingin kesana dari dulu. Mungkin, seperti kata seorang teman: "Kamu ga akan rela menghabiskan uang terakhirmu kalau bukan karena itu adalah mimpi yang ingin kamu wujudkan."

Ketika saya akhirnya menyusuri Fjord, saya berbicara pada diri saya sendiri: "Akhirnya sampai di sini". Saat itulah saya sadar, satu mimpi telah menjadi kenyataan.

Sunset catcher di Stockholm

Stavanger