Englischer Garten



The last thing I remember before leaving Jakarta was the fact that from now on, I am the only person that I can and ought to rely on. Well, the idea wasn't too bad, to be honest, getting everything done by myself was not a new thing for me.

and so, don't ask me about how I spend my own quality time. 

Spending a little time in a public garden would probably be my favorite thing to do in a good sunny day, or in case of global warming, in a strange weather like this. I like the idea of observing people, without being part of them, without feeling sorry to whatever they actually feel.

Because sometimes, being out of the system wouldn't be that bad, somehow you might need it to keep your system balance without the urge to be part of it. 

but don't be too far.


The thing is,

Saya geli sendiri waktu ada yang bilang begini: "Iri banget ya lihat hidup lo, seneng terus". Well, gimana kalo saya balik, saya terus-terusan gloomy dan semua orang mesti tahu ke-gloomy-an saya lewat postingan yang terus-terusan saya share di semua media sosial saya (Ooops, I know some people do this), apakah ada yang akan bilang: "Wah, kasihan banget ya hidup lo, sedih terus" (?).

To just make you sure, things are getting harder here, tapi saya sih tidak ingin semua orang di dunia ini harus tahu, cukup beberapa orang yang benar-benar saya percaya. Lagian apa gunanya sih mengeluh di hadapan orang banyak? mencari simpati? well, kalo mau adu-aduan mengeluh, saya kayaknya punya ratusan hal untuk dikeluhkan selama berjuang hidup di sini. Tapi saya juga punya ratusan alasan untuk tidak menunjukkannya, dan juga alasan untuk bersyukur.

Percayalah, berjuang untuk bertahan hidup disini (kalau saya boleh melebih-lebihkan) bisa 1000 kali lipat lebih sulit dibanding bertahan hidup di Jakarta atau di kampung halamanmu sendiri. Ke-gloomy-an orang-orang rantau disini bisa jauh lebih gelap dibanding mereka yang masih tinggal di kampung halaman sendiri. Seperti ketika kamu sedang jatuh di lubang galian pasir, pilihanmu cuma ada 2: diam disana dan menggali lubang baru dan makin terperosok, atau perlahan naik melawan gravitasi walaupun sekali kamu berusaha naik, kemungkinan kamu untuk terpeleset jatuh lagi juga masih ada (ingat ini galian pasir, sekali menanjak, bisa dua kali glesor turun ke bawah). Saya berani berrtaruh ini pasti akan terjadi, SESIAP apapun persiapanmu sebelum memulai hidup baru jauh dari kampungmu. But, the choice is yours.

Tapi, ya juga bukan berarti tidak bahagia. Saya baru belajar bahwa semenjak saya di sini, saya mulai mendefinisikan ulang apa itu "bahagia" dan juga bagaimana untuk memilih tidak peduli dengan beberapa hal yang tidak relevan dengan apa yang kita yakini benar. Again, ignorance is bliss, at certain point.

Jadi kesimpulannya?
Ya buat mereka yang meyakini, teruslah mengeluh, dan teruslah sirik hehe.


Summer in Winter - Leuven, Belgium 2013





"The warmest winter, the coldest summer."

Jani: Pertanyaan-Pertanyaan Yang Tidak Perlu Dijawab

Jani,

Percayalah, bahwa semakin kamu dewasa, maka akan semakin banyak pertanyaaan yang terbuat atau mungkin dibuat-buat. Tapi tenang, kamu akan sampai di titik dimana kamu merasa tidak perlu menjawabnya, paling tidak untuk sementara. Tentang siapa dan bagaimana, tentang apa dan dimana, dan seterusnya.

Kamu tau mengapa aku akan jadi orang yang paling berada di depan untuk mendukungmu meninggalkan rumah suatu saat nanti? bukan masalah sayang atau tidak sayang, tapi aku akan lebih sedih kalau hidupmu hanya kerdil di situ-situ saja.




Ada suatu materi kuliahku yang mungkin aneh, tapi inilah yang membuatku sampai pada kesimpulan bahwa tidak semua pertanyaan perlu untuk dijawab. Aku diharuskan memilih suatu masalah, bukan untuk dipecahkan, namun untuk direfleksikan. Mencoba menguliti masalah tersebut dalam dimensi yang berbeda dan berusaha mengaitkannya dengan apa yang disebut dengan peralihan paradigma. Aku tidak diharuskan untuk mencari jawaban atau jalan keluar, karena bukan itu yang terpenting. Hal terpenting adalah bagaimana aku akhirnya bisa melihat suatu masalah adalah bukan masalah, bagaimana aku bisa melihat apa yang terjadi secara vertikal dan tidak menyudut. Maka apakah pertanyaan tersebut perlu dijawab atau tidak, kamu bisa menentukan mana yang terbaik.

Aku sedikit menyalahkan latar belakang pendidikan sainsku yang membuat aku terlalu lurus. Aku terbiasa untuk menjawab setiap pertanyaan, sampai setengah mati. Terpaku pada idealisme harus A atau B. Terpaku dan kaku pada hasil yang bukan tidak mungkin malah nihil. Tapi tidak sepenuhnya salah, aku juga berterimakasih bahwa paling tidak, aku selalu bicara pada apa yang bisa dibuktikan.

Tapi ingat, aku dan mungkin nanti kamu, masih hidup dalam masyarakat dimana tidak menjawab = kalah. 



Love,


F