2012

Back in late 2011, I wrote this.

Kalau saya boleh menyimpulkan tahun 2012 ini, tahun ini adalah tahun penuh dengan belajar dan belajar. Saya percaya bahwa kehidupan yang sebenarnya dimulai ketika lepas dari bangku sekolah. Ketika kesadaran untuk hidup mandiri sudah mulai muncul dan ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan. 

Awal tahun adalah saat-saat yang paling saya senangi, entah kenapa. Mungkin karena ulang tahun saya (dan ulang tahun beberapa sahabat saya) jatuh di awal tahun. Tahun ini pun saya merayakan ulang tahun dengan sangat berkesan. Mulai dari dicelup-celup ke kolam renang sama temen-temen SMA sampe  dikasih surprise kue ulang tahun berbentuk muka laki-laki (?) sama temen-temen kuliah di Bandung. Ah Bandung, tahun ini jadi berat karena semakin jarang saya pulang ke Bandung. Saya memang sudah ga punya tempat tinggal lagi di sana, tapi saya masih menyebutnya sebagai "rumah" dan "pulang". There will always be the piece of your heart in a place you love the most.

Kekecewaan terbesar saya adalah gagalnya saya ke Rinjani bulan Mei tahun ini. Saya cukup hopeless, karena ga tau akan kesana sama siapa lagi. Cukup sulit mencari partner naik gunung, karena ga semua orang mau menyanggupi dan saya sangat bisa mengerti. Tapi, sekali lagi, God works in a mysterious way. Waktu di Balikpapan, saya dikenalkan oleh beberapa orang teman. Kami bertukar cerita dan sama-sama hobi jalan-jalan dan alhamdulillah obrolan kita sampai pada rencana untuk naik Rinjani bersama di tengah tahun 2013 nanti. Tidak berhenti di situ, beberapa hari setelahnya, ketika bercerita tentang rencana (yang beberapa masih jadi wacana) trip-trip saya di 2013 dan menyebut nama "Rinjani" pada teman-teman kantor, mereka semua langsung mengamini dan bersedia menjadi partner, ga hanya satu orang, bahkan COO saya pun bersedia ikut. Here we go, sekarang saya pusing sendiri mengatur ini itu dan cari-cari tiket pesawat ke sana :D

Tahun ini juga berarti perjalanan. Saya kembali ke Kalimantan setelah 2,5 tahun meninggalkan pulau itu. 

"Sekali kamu pernah ke sini, pasti akan balik lagi. Liat aja, suatu saat pasti kamu akan balik ke sini." Kolega saya pernah bilang ini 2 tahun yang lalu.


Letter To Future Daughter

Dear Jani,


I woke up at 1 am yesterday and found myself under the half moon and 3 stars. It was about 3 degrees Celsius at that time, I did feel a cold shiver run throughout my body. I did not sleep at all. I walked for 1,5 hours just to catch the sunrise. You know, I'm not that strong dealing with extreme temperature and oxygen depletion. I saw the sunrise on my right side, it was splendid. My hands were frozen I can't feel my camera just to capture the moment. I'm back walked among the wilting Edelweiss, my hands were getting warmer because of the morning sunshine. You know, I found my love here though it's broken. But above all, I found myself here.

Love,

F.

Plateau







Plateau

An elevated, comparatively level expanse of land. Plateaus make up about 45 percent of the Earth's land surface.

This is one of my favorite Plateaus. Taken from my last trip.

Kutukan Border Line

Kali ini saya nggak akan ceritain dari awal sampai akhir trip saya bulan Oktober kemarin. Semuanya berkesan, tapi yang paling berkesan adalah di perbatasan 2 negara hari-hari terakhir menuju kepulangan ke Jakarta.

Salah satu Bucket List saya adalah melewati garis batas negara lewat darat. Rencana awal saya untuk tahun ini adalah dari Vietnam lalu ke Kamboja dengan jalur darat. Tapi Tuhan berkehendak lain, karena jatah cuti yang ga bisa terlalu lama, maka rute itu pun terpaksa dialihkan.

Di 2 hari terakhir, di 2 negara akhir, saya memilih menuju Kuala Lumpur dari Singapura lewat jalan darat. Sepertinya semua ga masalah karena emang rutenya gampang banget dan mudah dilalui. Singkatnya, ujung terluar Singapur yang langsung berbatasan dengan Malaysia adalah daerah Woodlands. Saya (dan teman saya Ipul) memilih naik bus waktu itu. Bus dari Singapura hanya mengantar sampai imigrasi Malaysia di Johor. Selanjutnya, perjalanan Johor-KL yang selama empat jam itu akan kami tempuh dengan bus yang lain.

Pada saat melewati checkpoint Woodlands, semua masih baik-baik saja, stempel dengan mudahnya menempel di paspor kami. Kami naik bus lagi, menuju checkpoint kedua: Johor. Tidak ada kesulitan bagi kami untuk melewati checkpoint ini, plus petugas imigrasi lumayan cakep (?). Dari checkpoint ini kami sudah tidak lagi naik bus yang tadi, tujuan kami sekarang adalah ke Terminal Larkin dimana kami akan membeli tiket bus menuju KL. Disinilah keanehan-keanehan mulai muncul.

Kami mendapati bis yang akan membawa kami menuju Larkin. Tiketnya sangat murah, untuk kami berdua cuma kena RM 3. Karena kami hanya membawa uang pecahan ringgit dengan nominal besar (sombong) dan si supir ga ada kembalian, jadilah saya cari minimarket terdekat beli air mineral (yang rasanya aneh). Beres, sekarang uang receh ada di tangan. 


Bucket List

Bucket List:

noun

informal
  • a number of experiences or achievements that a person hopes to have or accomplish during their lifetime:

Here is mine:


1. Step on the top of the mountain
2. NEPAL, capture a picture with Himalayas as background
3. See orangutan in their natural habitat
4. Hug orangutan
4. See Aurora Borealis
5. Go to Fjord
6. Live in Nordic country, for a while
7. Go to Africa
8. Eat durian (!!)
9. Play a song with guitar smoothly
10. Work offshore
11. Get my own tent
12. Step on all big islands in Indonesia
13. Visit all countries in south east asia
14. Have a cup of English Breakfast Tea in London
15. Cross the border line
16. Go to Incognito concert
17. Have a dog
18. Master to cook Padangnese food
19. Visit hometown again 
20. Find a soulmate (and can be a travel mate, too :p)
21. Get my daughter named Rinjani
22. Adventure with my children
23. Send my parents for Hajj again
24. Go Hajj with soulmate
25. Live the rest of my life in Bandung




Bekerja dan Mengapresiasi Hidup

Di penghujung masa sekolah, hampir setiap orang dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Mau apa setelah selesai sekolah? Mau diapakan ilmunya? Juga sekaligus tanggung jawab yang lebih besar untuk bisa mulai belajar berdiri di atas kaki sendiri. 

Jika pilihannya adalah bekerja, ya berarti harus siap dengan segala konsekuensinya. Pekerjaan apapun, posisi apapun, dan secinta apapun kita dengan pekerjaan kita, ga mungkin ga pernah ada kata "lelah" sedikitpun, baik secara fisik maupun mental. Manusia bukan robot yang akan diam saja kalau dibanting-banting, paling juga rusak terus mati. Saya yakin tiap orang punya thresholdnya masing-masing, cuma dia yang tau kapan threshold itu tersentuh dan cuma kita yang tau bagaimana mengatasinya.

Bagi para pekerja pada umumnya, terutama kota besar seperti Jakarta, tekanan hidup di kota besar (dan tidak teratur) seperti Jakarta jadi faktor tersendiri. Lebih stress? Jelas. Rutinitas tiap hari dari jam 8 pagi sampai 5 sore, belum terhitung lembur, belum terhitung macet, belum lagi kebanyakan kantor di Jakarta adalah headquarters yang bagi perusahaan dengan cabang dimana-mana, tentu beban dan tekanan kerja lebih besar karena harus menghandle semua kebutuhan dari pusat (untung headquarter kantor saya di Belanda, tapi ya tetep aja sih stress juga haha). 

Bagi mereka yang juga bekerja di lapangan atau site seperti saya, masalah jarak dan waktu bersama keluarga, teman, pacar, atau guling di rumah bisa jadi masalah besar. Berhari-hari dan berminggu-minggu di site, tanpa ada hari libur walaupun sabtu-minggu, sinyal dan konektivitas yang minim karena faktor lokasi, dan perasaan-peraan lainnya.

"Wah enak lah di site, pundi-pundi uang mengalir terus."

Itu kompensasi. Ga semua orang mau ditempatkan di site atau rig yang jauh dari orang-orang yang mereka sayangi, ga semua orang bisa tahan dengan beban kerja lapangan yang ga semudah mereka bayangkan. Yang mampu mereka bayangkan hanyalah seberapa besar uang yang diterima, karena sebagian manusia tidak mau repot-repot melihat ke dalam, mereka melihat dari luar.

Saya jadi lebih mengapresiasi hidup. Lebih menghargai waktu saya ketika sedang berada di rumah, sedang bersama teman-teman lama, atau sekedar ketika saya sedang sendiri browsing internet seharian sambil minum teh. Termasuk mengapresiasi hidup dengan melanjutkan hobi saya: jalan-jalan. Sekali lagi, kebanyakan orang tidak mau repot-repot melihat ke dalam, mereka melihat dari luar. Bagi sebagian orang, jalan-jalan sama dengan menghambur-hamburkan uang, bagi sebagian lagi, jalan-jalan bisa berarti bentuk apresiasi dan proses pembelajaran diri. Saya jatuh cinta dengan alam dan isinya dari dulu dan menemukan kebahagiaan ketika saya berada di dalamnya, kebahagiaan ketika berada di tempat asing untuk beberapa saat. Maka itulah salah satu cara saya menghargai hidup saya. 

Maka di sela-sela pekerjaan saya di kantor ataupun site, saya mencari celah untuk bisa melakukan perjalanan-perjalanan kecil. Kemana saja. Seperti saat saya di site, saya menyempatkan diri berkeliling Kalimantan Timur yang disambungkan oleh highway, sesederhana itu, dan dapat bonus melihat orangutan pula. 

Saya percaya, sekarang permasalahannya bukan sempat atau tidak sempat. Punya atau tidak punya. Permasalahannya adalah cuma sesederhana niat dan kepandaian mencari celah.

"Wah enak banget sih lo bisa kesini bisa kesana." 

Mungkin mereka hanya belum menemukan bagaimana cara mengapresiasi hidupnya dan kerja keras yang sudah mereka lakukan. Kebahagiaan dan cara membahagiakan tiap orang pasti berbeda. Percayalah, selalu ada celah untuk bisa menghargai hidup, bagaimanapun caranya, sesederhana apapun. 
Kreatiflah dan pandai-pandailah, karena cuma kita yang tau apa yang kita inginkan.

Selama setahun sejak meninggalkan Bandung, saya seperti bayi yang sedang belajar untuk bisa berjalan sendiri dengan tegap. Sudah bisa berdiri di atas kaki sendiri walaupun kadang gemetar, berjalan sedikit demi sedikit, jatuh, lalu bangun lagi. Mungkin begitu seterusnya sampai nantinya bisa berlari kencang tanpa hambatan, jatuh, sampai tidak bisa bangun lagi. Di sela-sela itulah, saya mengapresiasi hidup.



October's Trip



Some pictures from my last trip, not too far from here but it was really fun, adventurous (lost, almost got hit by a bus, spent 4 hours in a bus with a mad man, walking at 2 am in the morning in the middle of drunk men, crossed the border line, plane turbulence, you name it!). As for me, travelling is a choice. It's not an achievement, it is indeed a process to find yourself, to learn, to appreciate things, and in the end, to find your way home.










Almost everyone has their dream destination, I'm on my way to see the exotic Nepal, skiing in the northern hemisphere, or just enjoying sunset along Borneo's highway with you.


Flying

So I've been flying for almost two months. From Jakarta to Balikpapan and back again to Jakarta. Flying (home) to Bandung to meet bestfriends. Earlier this month, flying back again to Balikpapan, moved to Samarinda, Muara Badak, Bontang, Sangatta, Bengalon, and Muara Wahau with Mahakam inside. At the end of the month, flying to some countries (take it as a self reward :p), flying back home to Jakarta and then back again to Borneo and yes I can't help thinking about flying to Bali or any beaches to close this year (hopefully!). 

Hours spent on the road, packing and unpacking, take off and landing, hello and good bye. 

" I know some of you might think that I’m so lucky. Yes, I am indeed, but I have to say that I’ve been working hard. Things got difficult. There were tears and doubts as much as loneliness and too many good-byes. There were too many things I missed on the ground while I was flying. " - Puti

So may I wish to fly more next year?

Borneo (3)


Be careful with what you wish for, when you set the bar too high

Borneo (2)

You might find her in an unusual place
You might find her wearing boots or backpack instead of heels or those branded handbags
You might find her awake all night with her iPod on
You might find her wearing skirt and feeling awkward
You might find her with her mascara on, but still, feeling awkward
You might find her so friendly, a man's best friend, a nice person to talk to
You might find her tough, independent, and free
You might find her smiling when she had just landed from the rig, or came home from the site

You just don't know how she feels

________ _________

Inspired by a friend of mine, Puti. I met her during my field break in Balikpapan yesterday. I arrived at Balikpapan from Sangatta right when she had just landed from the rig. I remember my previous post on a life of woman in man's world and yes, that is our life.

p.s can I say, we are looking for our forever home?






Borneo (1)


Hello, Borneo, we meet again.

Sangatta, October 2012. 

Pernah memutuskan untuk berhenti mendengarkan satu lagu lalu suatu hari memutuskan (atau memberanikan diri) untuk kembali mendengarkannya apapun perasaan yang akan muncul?

And I will love to see that day
That day is mine
When she will marry me outside with the willow trees
And play the songs we made

Postcards from Italy

Lights


Being away from home is not only about finding another home, but also how to survive in the dark and find the lights.

Lights on the road 
Balikpapan - Bontang, East Borneo

Indonesia Ring of Fire : Potensi Geothermal Indonesia

Isu efisiensi energi yang semakin marak dibicarakan akhir-akhir ini meninggalkan tanda tanya. Sudah sejauh mana negara kita mampu mengelola sumber energi yang ada dan sesiap apa negara kita untuk membangun sumber energi baru? [...]

A Woman in a Man's World

Some people think when a woman working in a male-dominated environment, then she would turn to be boyish, or let'say, a bit manly. Or the opposite, the case with a man who works in the female-dominated environment.

Not completely wrong, but also not entirely true.

I have an educational background which was dominated by women. Contrast with my life before, now I am working in a place where women are minority. Not many women of my major choose to work as field workers, most of them working in the lab or settled in the office.

I do not agree that the work will always change a person. How we are able to process what has affected us that matters. Woman will remain a woman, and man will always be a man. Working in a place dominated by the opposite sex is definitely going to affect us in many aspects; our way of thinking, decision-making, to the daily language and jokes. But the problem is how we can still be ourselves.

Women working in a man's world is not necessarily going to be manly and vice versa, a man who works in the women's world would not necessarily be feminine. In my job, I keep doing the same things with men; working in the field, carrying equipment, keep waking up at 3 in the morning or come home at 11 pm. Sometimes I also have to throw away the awkward feeling when I have to be in the field whole day or meeting with colleagues who are all men. No more and no less.

The pattern of thinking is certainly affected, as well as the rhythm of work. But behind it all, I'm trying to confirm my presence, give a small touch as a female field worker. Not trying to dominate, but to give meaning. If one asking me why I wanted to work in this world, I will probably answer: I do not want to stuck with one mindset all my life, but I also do not want to lose who I am.

Believe me, I still spend a lot of time shopping and hanging out with my girlfriends. At times like that I feel my life balanced.

The core of the issue is how we are able to position ourselves as who we are, give more colors to a monotone world, enrich the flavor without trying to be the most powerful taste. Like a bowl of soup, rich in flavor. But when one flavor is removed, the overall taste will change, no longer as good as it used to be, and people will feel lost. Where is that flavor?
 
I don't mind living in a man's world as long as I can be a woman in it. -Marilyn Monroe-
 

Leave it, in Airport


Because everyone has their own stories and memories, left in Airport.

(Bangkok, 2011)

Later

Hey, you.

You know I'm writing this while doing my report. You know I'm not good at writing such beautiful lines and words.

But it was nothing until I found myself trying to write this.

You know I've always had a crush with this earth
You know I've always had a crush with the beautiful stones you ever told me, Rainbow Obsidian, or the Snowflake one.
You know I'm a bit nervous to have my first experience working on a site and you said, "Hey you, the coal girl!" pretty nice, I think.

You know the place that I've been dreaming of

You know the place where I want to find myself waking up under the sunrise, and falling asleep under the moonlight
You know the place where I want to find myself riding a bicycle or talking to my son: "Hey, it's snowing, put your jacket on and play outside."
You know the place where I want to spend the rest of my life, put the rest of my heart until my time runs out.

And you know, I long, as does every woman, to find her home, to be at her home wherever she finds herself

.....................

and to feel the warmth at the end of your shoulder, you my home

but I decided to stay outside
I'll come back home later
___ ___



Tentang Energi

"Energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Energi hanya bisa bertransformasi dari satu bentuk ke bentuk lain."

Hukum kekekalan energi di atas pasti sudah sangat familiar. Pun hukum ini rasanya bisa diimplementasikan dalam kehidupan, karena energi pun merupakan sumber kehidupan, sumber kekuatan.

Sejatinya, menurut hukum tersebut, rasanya manusia sudah mendapatkan fasilitas yang luar biasa dari Sang Pencipta. Bahwa semua yang kita butuhkan sudah tersedia, dalam bentuk-bentuk tertentu, tinggal bagaimana kita mampu mengusahakannya, mentransformasikannya menjadi bentuk yang kita butuhkan, itulah guna akal.

Jika memang benar itu yang terjadi, mungkin istilah "Efisiensi Energi" tidak akan ada. Saya percaya segala yang manusia butuhkan sudah tersedia, bahkan mungkin berlebih. Termasuk sumber-sumber energi.

Bicara soal sumber energi, terbarukan atau tak terbarukan. It doesn't really matter. Yang terjadi sekarang adalah ketergantungan pada satu sumber saja. Oh ya, satu lagi: keserakahan.

Fossil

Entah sudah berapa banyak mekanisme untuk menekan dan memperlambat efek penggunaan sumber energi fossil yang makin kesini, makin over eksploitasi. Pun rasanya hukum ekonomi demand dan supply sudah tidak cukup lagi untuk menjawab kecenderungan ini.

Protokol Kyoto, REDD, REDD+, ISO, Energi Manajemen, dan entah sudah berapa banyak turunannya. Efektif atau tidak, masih jadi tanda tanya.

Di suatu training, saya berdiskusi tentang kebijakan perusahaan-perusahaan manufaktur, tambang, migas, atau service sekalipun. Bagaimana kesepakatan yang akan dijalani, dan yang terpenting bagaimana implementasinya.

Suatu saat fossil akan habis, semua orang pasti tau. Apa penggantinya, itu yang tidak semua orang tau atau mau tau.

Entah salah siapa, tapi mungkin ini doktrin turunan yang belum putus. Bahwa dari segi pendidikan hingga peluang industri di negara ini, masih berkiblat hanya dengan kebutuhan pasar, jangka pendek, bukan jangka panjang.

Indonesia bukannya tidak mampu menggalakan sumber energi baru, tapi mungkin belum mau. Mahal? Ya mahal karena tidak ada yang memulai, jika barang tersebut sudah bisa diproduksi massal, harga akan mengikuti kan?

"Kita selalu beralasan tidak punya uang untuk membangun industri energi, padahal kita buang-buang uang dengan subsidi."

Inti dari ini semua mungkin karena budaya. Budaya yang masih berantai dan belum putus. Plus pengetahuan yang masih terbatas. Semua orang bisa paham dengan batubara, dengan minyak bumi. Tapi mungkin beberapa yang paham tentang bagaimana biomass, panas, angin, dan air bisa jadi sumber kekuatan.

Bahwa sekali lagi semua bentuk energi sudah tersedia dan cukup, cuma bagaimana merubahnya. Begitu juga dengan harapan, bukan bagaimana menciptakannya, tapi merubahnya. Tidak mungkin jadi mungkin.

Caranya?

Untuk saat ini, terus belajar.


Tambang dan Lika Likunya



Semua berawal dari beberapa tawaran pekerjaan yang datang menghampiri, yang mempropose saya untuk join dan bekerja di mine site, khusus bagian environmental. Hingga akhirnya saya bekerja di sebuah perusahaan engineering service dengan salah satu business line-nya adalah Mining. Beberapa bulan saya bekerja di sini hampir semua project yang saya tangani berkutat di area pertambangan, terutama batubara. Hingga beberapa waktu kemudian saya dipropose untuk bekerja di bawah business line Energy, Industries, & Mining. 


Jelas agak sedikit melenceng dari latar belakang pendidikan saya, walaupun masih banyak keilmuan saya yang terpakai. Agak sedikit melenceng karena saya harus dengan cepat belajar beradaptasi dan memahami konsep-konsep dasar mining, eksplorasi, dan eksploitasi. Dari feasibility study, operasional, sampai pasca operasi. On the other hand, pekerjaan ini juga menuntut saya terutama untuk berhubungan dengan klien dimana klien-klien tersebut tidak lain tidak bukan adalah raksasa-raksasa mining company dengan kapasitas eksploitasi dan income yang gila-gilaan.


Menarik. Menarik bagi saya pribadi dan juga rasa keingintahuan saya. Menarik karena sektor ini merupakan salah satu sektor yang memberi sumbangsih terbesar pada pendapatan negara, atau yang paling sederhana, pendapatan daerah. Di salah satu Kabupaten di Kalimantan Timur misalnya, sekitar 80% income didapat dari sektor pertambangan, di dalamnya dibagi-bagi lagi sesuai dengan kontribusi company yang mengeksploitasi daerah tersebut. Menarik karena sektor ini disinyalir sebagai salah satu sektor yang menjanjikan di Indonesia, dengan sumber daya alam dan reserve yang hampir merata di seluruh Indonesia, mulai dari batu bara sampai emas. Untuk suatu company batu bara misalnya, reserve bisa mencapai 447 juta ton yang bisa "digali" dalam jangka waktu beberapa tahun atau puluh tahun. Dengan reserve sebesar itu, coal sales bisa mencapai hingga 23 juta ton dan net income bisa mencapai $17.3 million dan revenu$368.6 million. Gila? Iya emang. 

On the other side, sektor ini banyak disebut-sebut banyak memberi efek negatif terutama pada lingkungan dan keberlangsungan ekosistem, terutama di sekitar site. Lucunya, ada yang sangat peduli hingga teriak-teriak sampai keluar otot dan ada juga yang sama sekali ga peduli. Nah yang kaya gini nih yang bikin ga ada titik temu. Sama-sama ekstrim atas dan ekstrim bawah, ga ada penengah. Ibarat kurva, ini tuh kayak asimtot, ga pernah ketemu, terus aja sampai tak terhingga (naon maneh euy). Kalopun ada kaum tengah-tengah ya bodo amat. Like they said, kelas menengah ngehe.


Saya pribadi, sambil belajar juga berusaha untuk netral dan ada di tengah-tengah, walaupun suit. Setelah terlanjur kecebur di mining, saya semakin mengerti dan paham kenapa sektor ini gila-gilaan. Di sisi lain, dengan latar belakang keilmuan saya, saya sedikit banyak mengerti dampak apa yang akan mengancam secara ekosistem atas semua kegilaan itu. 

Susah untuk mengerti ketika dulu masih kuliah, jika tidak nyemplung langsung, melihat, dan merasakan sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Itulah mengapa banyak yang bilang seidealis-idealisnya seseorang adalah ketika ia masih sekolah, ketika ia belum melihat dan merasakan sendiri apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Bagus juga nih buat kontemplasi kita semua, bahwa sesuatu harus diobservasi dulu, diriset dulu, baru deh kita bisa bicara panjang lebar.

Yang membahagiakan saya adalah ketika beberapa waktu lalu menghadiri Indonesia Environment Week dimana perusahaan-perusahaan mining dan oil berusaha untuk menyampaikan apa yang selama ini belum banyak diketahui orang, yaitu concern mereka terhadap sustainability lingkungan. Beberapa diantaranya bahkan mengeluarkannya dalam bentuk buku. Yang kita harapkan bersama, semoga ini bukan kedok, tapi benar-benar bentuk perhatian mereka sekaligus tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan. Yang membahagiakan lagi adalah ada beberapa klien tempat saya bekerja yang tertarik dengan stok karbon dan bersedia untuk concern, setelah kami mempropose masalah stok karbon ini. Yay, seneng banget rasanya :D

Yang bisa saya lakukan juga belum banyak, namanya juga baru newbie, masih anak ingusan di sektor energi dan mining. Butuh banget semangat-semangat baru di sektor ini kalo menurut saya, ide-ide baru yang datang dari generasi-generasi yang masih "fresh". Melalui tulisan ini niatnya saya juga ingin encourage teman-teman yang punya concern terhadap bidang ini. Asli saya ngerasanya sektor energi dan mining terutama untuk bagian environment masih minim banget, masih banyak dikesampingkan.

Karena sains dan teknologi itu sebetulnya satu paket, kawin, dan memang seharusnya beriringan satu sama lain.

Nampaknya tulisan ini terlalu serius, padahal saya nulisnya juga sambil makan Lays dan main Bakery Story. 

See you on the other side of this blog!

To Travel, To Come Back Home

I long, as does every human being, to be at home wherever I find myself.

Back in few years ago, I was a fussy kid who always ask why my father was rarely at home. When I had to undergo my first national exam, he was in site, somewhere far away from our home. I cried because I missed him. I can't really wait for him to come back home, to hug me, to kiss me before school yet the fact was I had to wait for months just to feel his warmest hug.

To be with him at home is one of precious moments in my life, even until now. 

As I entered another life's phase, I met some friends along the way. I remember how my friend, Nungky missed her boyfriend in Papua or how Puty wrote a line or two about "home" in her blog, between her workload in rig. I remember, how Mas Adi, our hydrogeologist missed her wife and his son while he was in site, how he answered to his wife "I'm fine, baby. How are you?"

I survived in some places, from Bandung to Kalimantan, from Bali to Bangkok, from seas to mountains. I enjoyed it and I know, I'm lucky, but there was a time when I felt I wanna go home, always. Then suddenly all were flat, all were cold. 

If something, my job as field engineer has successfully taught me, it must be about these; the distance and feeling home. The family, old friends, boyfriend, pillow on own bed, a laughter, giggles, a smell of petrichor, whatever and whoever you think of as your home.

Now I know, Dad, good luck to me, to you, and see you on the other side of the world,

and I miss you, you my home.
Hi. Hello. How are you

Just to make you sure that I still regularly check this page (and still check some neighbours' writings on their own pages)

I have several drafts to be published here that I wrote everywhere, on my laptop, agenda, ipad, or even cell-phone, just wait for their perfect timing to come (yes timing is a bitch, they said)

So have a good life, everyone!


But who can say what's best? That's why you need to grab whatever chance you have of happiness where you find it, and not worry about other people too much. My experience tells me that we get no more than two or three such chances in a life time, and if we let them go, we regret it for the rest of our lives.” 

-Haruki Murakami, Norwegian Wood





Been long time since the last time I spent my time on facebook. Then I found this picture and this feeling popped out: I miss these retarded idiotic people of mine

See you on another side of the world,
and you know, I love you

-Me

Changes

So some things in my life changed, some stayed. More responsibilities, more hours spent outside, more hours dealing with stacks of mining and geological things, less hours to sleep with my favorite pillow at home, or even to greet my family every morning. I still drink a cup of tea everyday, I still regularly check my social media status between my workload, I still love wasting time doing unnecessary things with friends of mine, and I still find myself missing my past life in Bandung.
Some friends are moving on, some are pursuing their dreams and they'll always fill the void part of mine.
This was not as scary as I thought yet I felt closer to my dreams, or at least, this is the way that I've been dreaming of.
The city, buidings, and city lights were still the same. I see myself here walking forward, sometimes run, sometimes stop and look backward, but I'm still moving.
I still want this and that, I still need to save every cent for traveling abroad and of course, for my future life.
And I still need a companion along the way.



Because things have been changing.

On Conversation (I)


“If you were given a chance to be a man, what would you do?”

“Me? Well, I might look like any other man in general. Playing sports, watching football match at odd hours, doing extreme activities, flirting with girls, smoking, getting drunk, watching porn, and..... what else?”

“Dont you think, like, all of the things you just mentioned, somehow, are the most hated by females? And it’s going to be an obvious definition of, hmm bad boys?"

“Bad? Which side you consider as ‘bad’? Flirting? Smoking? Watching porn? Here I tell you, I believe someone’s traits were affected by factors in and out of him. Above all, what you considered as ‘bad’ were born and still running through their blood, they are running in their genes with a combination of hormones. They’re natural. If you dont want them there, then you should probably kill him and his cells, I mean his whole body.”
“What makes them different is how they can control and deal with it. If I were a man, I want to be a normal man doing what men used to do, no more and no less.  But I wish, I could control more and the most importantly, I would stop asking...’what if you were a man, what if you were a woman’.”

“Why?”

“Since men and women are genetically different. Since men and women have the different chromosomes arrangement. Since X and Y chromosome has distinct function and structure. Since the twins can be so much different. And since I’m only a human, not God, I dont have any priviliges to judge something.”

------------------------------


Today is finally yours, cherie









Thank you for those wonderful 4 years, congratulation, and good luck, bestfriends.
Today is finally yours
Bandung, 14 April 2012

Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran


Suatu malam, saya benar-benar tidak bisa tidur dan mati gaya apa lagi yang harus saya lakukan. Saya penikmat blog, tapi laptop sudah keburu dimatikan dan terlalu malas untuk sekedar tersambung ke internet lagi. Saya membuka rak buku pribadi. Saya termasuk picky dalam memilih dan membeli buku. Jadilah saya menyeleksi buku-buku saya itu satu per satu untuk dibaca ulang. Terakhir saya menyelesaikan Everything is Illuminated oleh Jonathan Foer.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju pada sebuah buku: Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran.

Ha!
Buku ini sudah saya kenal sejak SMA, tapi baru saya baca penuh ketika masih kuliah tingkat satu. Dan seingat saya, belum pernah saya baca ulang. Ya sudah, dengan penuh kekuatan saya ambil dan baca ulang lagi, hingga selesai.

Bagi saya, buku ini adalah salah satu non-fiksi terbaik yang pernah saya baca. Buku ini tidak mengagung-agungkan si tokoh utama dengan prestasi dan pemikirannya seperti kebanyakan biografi lain. Jauh lebih mendalam dari itu, buku ini berisi potongan-potongan pemikiran Gie. Suka atau tidak suka dengan jalan pikirannya itu urusan lain, saya menangkap ada kekuatan di setiap potongan tulisannya. 

Dengan tidak menitikberatkan pada rezim dan pergerakan mahasiswa di tahun 60-an, tahun di mana Gie yang seorang mahasiswa Universitas Indonesia hidup, saya merasa menyatu dan bisa merasakan kejadian dan apa yang dia rasakan saat itu. Sampai kemudian buku ini dibuat menjadi sebuah film, walaupun ada bagian-bagian yang loncat dan tidak detil, nyatanya karena film ini, anak muda dan remaja (pada saat filmnya keluar, umur saya kira-kira masih 16 tahun lah hehe) jadi mengenal siapa Gie, bagaimana pemikirannya, tahu di mana Lembah Mandalawangi berada, mengenal puisi Gie yang sangat romantis dan bahkan terinspirasi untuk naik gunung Semeru. Tak jarang, sebagian dari mereka (termasuk saya) terlarut-larut dalam bukunya, kata-katanya, cerita perjalanannya dan puisi-puisinya.

Satu hal yang menarik dan saya tangkap, di balik sosok vokalnya, Gie adalah seorang penikmat alam sejati. Dia mampu menyerap apa yang tersirat ketika dia duduk diam bersama alam, di hutan, di Mandalawangi. Ini yang jarang dimiliki oleh mereka yang (katanya) bergelut dengan alam bebas. Di luar sana, ada beberapa orang yang merasa dirinya paling jago dan bisa menaklukkan alam, bagi saya, alam bukan untuk ditaklukkan, disombongkan, dan dijadikan sebagai media untuk adu kekuatan. Karena lebih jauh dari itu semua, kita lah yang dibentuk oleh alam. 

Balik lagi, entah bagaimana cara Gie manangkap dan mengolah sinyal yang ia dapatkan dan seakan melebur dalam jalan pikirannya, yang jelas tidak ada kesombongan dari dirinya, paling tidak itu yang saya tangkap. Ada satu line yang menarik dari Gie: "I'm not an idealist, I'm a bitter realist." rasanya adalah sebuah pembuktian sekaligus klarifikasi, bahwa, Gie yang mungkin bagi sebagian orang (yang belum membaca bukunya, mungkin) adalah seorang idealis. Hmm daripada meributkan interpretasi yang bisa berbeda-beda, silakan baca sendiri bukunya..

Bagi yang katanya seorang demonstran (mumpung lagi ramai demonstrasi dimana-mana dan mahasiswa seakan-akan ingin mempertegas statusnya sebagai mahasiswa yang harus revolusioner), silakan baca buku ini. Bisa kok dicermati dan dipelajari apa itu memberontak, kritis, dan apa itu revolusi. Yah mungkin casenya berbeda, karena masa pemerintahannya juga berbeda dengan sekarang.

Bagi yang katanya dekat dengan alam, silakan juga baca buku ini. Silakan temukan jawaban sendiri. Silakan kubur keangkuhan hidup-hidup.

Saya kembalikan buku ke rak dan berharap bermimpi, sedang ada di Mandalawangi, lagi.


Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

Tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

Mari, sini sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit atau awan mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa


Soe Hok Gie