Starnberg See

Saya gampang sekali jatuh cinta, sayangnya (atau untungnya) bukan pada sesama manusia. Saya gampang jatuh cinta pada tempat-tempat yang yang bisa membuat saya tersenyum tanpa alasan yang pasti. Tidak harus yang paling indah, tapi cukup bisa membuat saya ingin selalu membicarakannya berkali-kali dan kembali lagi.

Satu setengah bulan sudah saya tinggal di selatan Jerman. Tinggal di kota yang masuk jajaran 10 kota termahal di dunia, tinggal di sebuah kota dimana lebih mudah dan cepat bagi warganya untuk pergi ke Austria atau Swiss dibanding pergi ke ibukota negara sendiri, Berlin. Kepadatan kuliah, tugas, dan proyek membuat saya belum sempat ke luar dari negara bagian Bayern ini. Lagipula, saya toh masih akan lama menetap di sini, jadi saya pikir tak usah terburu-buru mencicipi setiap penjuru Benua Biru ini. Saya memulai piknik saya ke Starnberg See ketika saat itu, cuaca Munich masih bersahabat. Bersahabat untuk ukuran saya adalah ketika saya masih bisa membuka coat di luar ruangan dan tidak harus memakai boots. Starnberg See (See dalam Bahasa Jerman berarti Danau) adalah salah satu danau terbesar di Jerman. 







Dan cuaca baik di Eropa memang baiknya dirayakan dengan satu scoop gelato.



Love,

F.


A Letter from The Procrastinator

Dear R & R,

Hi, I was working on my presentation when suddenly I wanted to write you a letter. I don't know I just wanted to. This is absolutely not a perfect time to write you some lines, I should have done my works. But anyway, if there was an award, then I might win the best procrastinator in this entire universe, for always procrastinating everything and find myself like trying to go suicide because of endless deadlines later on (don't laugh -- you inherited my genes).

I remember my previous Public Relation class discussed about what are you going to be after graduation. Well, too early to talk about it but anyway, some of my friends mentioned about going to BMW or Volkswagen or some other big player companies in this universe. Me? My answer? What if I said I just wanted to stay home, waiting for my husband come back from work, and raising you guys after all?

Well, that wasn't my answer to be honest.

The cliche is, you could be anything you wanted to be. Anything, I mean anything. Oh being a demonologist? Ok, we'll talk, that's too scary. But, I was dreaming about going to continue my education in a developed country some time ago, so I made pretty good efforts (calm, this just lasted only at the beginning, remember that I am the best procrastinator).

Sweethearts, your peers might think that you are mediocre. No problem with that, the problem might be if you stay with that within yourself. Don't just don't. Think freely as if there were no hurdles that block you but act wisely as if there were barriers around you.

You could be what you wanted to be, as long as you didn't hurt people in a bad way.

I'll go back to my works, see ya.



Love,

F

Osaka & Ottawa



"What was your best part of being in a long distance relationship?"

"When the rain comes."
"I knew the distance between Osaka and Ottawa, between me and my wife. But when the rain comes, I know that it is something natural, just like the rain that must fall on everyone. "

"and simply because rain makes everything better."




Tentang Sekolah Lagi

Jumat, 7.36 pagi waktu Jerman. Libur nasional di Jerman (dan beberapa negara Eropa, sepertinya) untuk memperingati hari besar keagamaan. Pagi yang berjalan cukup lambat karena tidak perlu berlari-lari mengejar tram untuk ke Bahnhof lalu lanjut ke kampus atau harus keluar rumah dengan kondisi langit masih gelap dan suhu 2 derajat.

Tepat setelah saya menerima Zulassung (Bahasa Jerman untuk Letter of Acceptance) dari universitas tempat saya melanjutkan pendidikan sekarang, cukup banyak yang menanyakan bagaimana caranya saya bisa sampai diterima. Beberapa ada yang kaget, karena sebelumnya saya tidak terlihat seperti orang yang sedang mempersiapkan sekolah, saya bukan scholarship hunter yang gigih seperti teman-teman lain, ditambah saya masih bekerja saat itu, jadi rasanya memang tidak mungkin tiba-tiba dalam waktu 2 bulan kemudian, atau hanya berjarak 3 minggu dari surat resmi resign, saya sudah berada di sini.

Saya bukan pemburu beasiswa yang idealis sepertinya, jadi sepertinya saya bukan orang yang tepat untuk ditanya-tanyakan mengenai hal ini. Tapi kalau ditanya kenapa saya memutuskan untuk kembali sekolah lagi dan mengapa Jerman yang saya pilih, mungkin sedikit bisa dijelaskan.

Entah memang benar atau tidak, keinginan untuk melanjutkan sekolah pasti dimiliki semua orang. Paling tidak untuk orang-orang yang saya kenal. Mungkin memang tulus keinginan dan cita-cita dari dalam hati, tapi mungkin ada beberapa yang terpengaruh. Terpengaruh karena lingkungan. Bagi saya dan teman-teman yang tumbuh dalam lingkungan akademis yang sangat kental di Bandung, melanjutkan sekolah ke luar Indonesia seakan jadi daya tarik sendiri dan wajib hukumnya, jika mampu.

Bagi beberapa orang itu pilihan, tapi bagi saya tidak, itu yang saya rasakan 2 tahun lalu.

Saya menyimpan dulu keinginan untuk melajutkan sekolah rapat-rapat, untuk mungkin di kemudian hari akan saya keluarkan kembali, jika kesempatan dan takdir bertemu. Beberapa orang yang saya kenal satu-persatu berangkat, tapi saya memilih untuk bekerja terlebih dahulu, toh saya masih belum yakin passion saya dimana, saya tidak ingin salah langkah. Karena melanjutkan ke jenjang Master bagi saya bukan lagi untuk main-main seperti S1, seperti menikah, saya hanya akan benar-benar memutuskan untuk apa yang benar-benar saya cintai dan ingin dalami. 

Dua tahun berjalan, saya kadang lupa cita-cita saya apa haha. Sudah cukup bahagia karena sudah merdeka dalam hal finansial. Tapi justru saya menemukan ketertarikan saya di bidang yang ternyata cukup jauh dari latar belakang pendidikan saya sebelumnya. Tapi kemudian saya juga masih lupa keinginan saya untuk sekolah lagi.

Then some things happened to me this year.

Saya benar-benar tidak pernah merencanakan. Agak aneh kalau dibandingkan dengan teman-teman lain yang mempersiapkan keberangkatannya dari setengah tahun atau bahkan setahun sebelumnya. Untuk saya, ini terjadi cuma dalam sekali dua kali kedip kalau boleh melebih-lebihkan. Semuanya berjalan benar-benar biasa saja, tanpa ada huru-hara. Saya hanya mencoba peruntungan, itu pun hanya sekali, lalu ternyata berjodoh. Semuanya seperti berjalan di luar kendali, persis seperti wayang yang hanya pasrah digerak-gerakkan oleh dalangnya. 

Jadilah saya di sini sekarang. Menempuh pendidikan di bidang Manajemen Sumber Daya. Jauh? Iya, bisa dibilang. Tapi keilmuan kan terintegrasi. Cukup bagi saya memiliki latar belakang sains pada saat bachelor, engineering pada saat bekerja, dan manajemen untuk memberi rasa. Mengapa Jerman? Karena saya tahu ini yang terbaik, paling tidak menurut saya.

Jadi kalau ditanya, gimana sih persiapan yang baik sebelum berangkat atau gimana caranya atau pertanyaan-pertanyaan lain seputar pendidikan, saya rasanya bukan orang yang tepat untuk menjawab deh :p


Munich, di kala cuaca baik-baik saja



Viel Glück!