Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran


Suatu malam, saya benar-benar tidak bisa tidur dan mati gaya apa lagi yang harus saya lakukan. Saya penikmat blog, tapi laptop sudah keburu dimatikan dan terlalu malas untuk sekedar tersambung ke internet lagi. Saya membuka rak buku pribadi. Saya termasuk picky dalam memilih dan membeli buku. Jadilah saya menyeleksi buku-buku saya itu satu per satu untuk dibaca ulang. Terakhir saya menyelesaikan Everything is Illuminated oleh Jonathan Foer.

Tiba-tiba perhatian saya tertuju pada sebuah buku: Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran.

Ha!
Buku ini sudah saya kenal sejak SMA, tapi baru saya baca penuh ketika masih kuliah tingkat satu. Dan seingat saya, belum pernah saya baca ulang. Ya sudah, dengan penuh kekuatan saya ambil dan baca ulang lagi, hingga selesai.

Bagi saya, buku ini adalah salah satu non-fiksi terbaik yang pernah saya baca. Buku ini tidak mengagung-agungkan si tokoh utama dengan prestasi dan pemikirannya seperti kebanyakan biografi lain. Jauh lebih mendalam dari itu, buku ini berisi potongan-potongan pemikiran Gie. Suka atau tidak suka dengan jalan pikirannya itu urusan lain, saya menangkap ada kekuatan di setiap potongan tulisannya. 

Dengan tidak menitikberatkan pada rezim dan pergerakan mahasiswa di tahun 60-an, tahun di mana Gie yang seorang mahasiswa Universitas Indonesia hidup, saya merasa menyatu dan bisa merasakan kejadian dan apa yang dia rasakan saat itu. Sampai kemudian buku ini dibuat menjadi sebuah film, walaupun ada bagian-bagian yang loncat dan tidak detil, nyatanya karena film ini, anak muda dan remaja (pada saat filmnya keluar, umur saya kira-kira masih 16 tahun lah hehe) jadi mengenal siapa Gie, bagaimana pemikirannya, tahu di mana Lembah Mandalawangi berada, mengenal puisi Gie yang sangat romantis dan bahkan terinspirasi untuk naik gunung Semeru. Tak jarang, sebagian dari mereka (termasuk saya) terlarut-larut dalam bukunya, kata-katanya, cerita perjalanannya dan puisi-puisinya.

Satu hal yang menarik dan saya tangkap, di balik sosok vokalnya, Gie adalah seorang penikmat alam sejati. Dia mampu menyerap apa yang tersirat ketika dia duduk diam bersama alam, di hutan, di Mandalawangi. Ini yang jarang dimiliki oleh mereka yang (katanya) bergelut dengan alam bebas. Di luar sana, ada beberapa orang yang merasa dirinya paling jago dan bisa menaklukkan alam, bagi saya, alam bukan untuk ditaklukkan, disombongkan, dan dijadikan sebagai media untuk adu kekuatan. Karena lebih jauh dari itu semua, kita lah yang dibentuk oleh alam. 

Balik lagi, entah bagaimana cara Gie manangkap dan mengolah sinyal yang ia dapatkan dan seakan melebur dalam jalan pikirannya, yang jelas tidak ada kesombongan dari dirinya, paling tidak itu yang saya tangkap. Ada satu line yang menarik dari Gie: "I'm not an idealist, I'm a bitter realist." rasanya adalah sebuah pembuktian sekaligus klarifikasi, bahwa, Gie yang mungkin bagi sebagian orang (yang belum membaca bukunya, mungkin) adalah seorang idealis. Hmm daripada meributkan interpretasi yang bisa berbeda-beda, silakan baca sendiri bukunya..

Bagi yang katanya seorang demonstran (mumpung lagi ramai demonstrasi dimana-mana dan mahasiswa seakan-akan ingin mempertegas statusnya sebagai mahasiswa yang harus revolusioner), silakan baca buku ini. Bisa kok dicermati dan dipelajari apa itu memberontak, kritis, dan apa itu revolusi. Yah mungkin casenya berbeda, karena masa pemerintahannya juga berbeda dengan sekarang.

Bagi yang katanya dekat dengan alam, silakan juga baca buku ini. Silakan temukan jawaban sendiri. Silakan kubur keangkuhan hidup-hidup.

Saya kembalikan buku ke rak dan berharap bermimpi, sedang ada di Mandalawangi, lagi.


Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

Tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

Mari, sini sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit atau awan mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa


Soe Hok Gie

4 comments:

Venessa Allia said...

Parah puisinya. Puisi kayak gini nih baru disebut romantis, bahkan ini lebih dari romantis
Gw belum baca Catatan Seorang Demonstran lho, jadi pengen baca :)

Fetriza Rinaldy said...

Waah baru baca komennya, padahal bisa gw pinjemin pas kemaren ketemu di Bandung :p

Admin said...
This comment has been removed by the author.
Soe Hok Gie dan Buku said...

Ya, Hok Gie itu kalo banyak orang bilang, memegang teguh idealisme sampai batas-batas terjauh. Kalo orang lain mungkin sudah gak mampu..