Bekerja dan Mengapresiasi Hidup

Di penghujung masa sekolah, hampir setiap orang dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Mau apa setelah selesai sekolah? Mau diapakan ilmunya? Juga sekaligus tanggung jawab yang lebih besar untuk bisa mulai belajar berdiri di atas kaki sendiri. 

Jika pilihannya adalah bekerja, ya berarti harus siap dengan segala konsekuensinya. Pekerjaan apapun, posisi apapun, dan secinta apapun kita dengan pekerjaan kita, ga mungkin ga pernah ada kata "lelah" sedikitpun, baik secara fisik maupun mental. Manusia bukan robot yang akan diam saja kalau dibanting-banting, paling juga rusak terus mati. Saya yakin tiap orang punya thresholdnya masing-masing, cuma dia yang tau kapan threshold itu tersentuh dan cuma kita yang tau bagaimana mengatasinya.

Bagi para pekerja pada umumnya, terutama kota besar seperti Jakarta, tekanan hidup di kota besar (dan tidak teratur) seperti Jakarta jadi faktor tersendiri. Lebih stress? Jelas. Rutinitas tiap hari dari jam 8 pagi sampai 5 sore, belum terhitung lembur, belum terhitung macet, belum lagi kebanyakan kantor di Jakarta adalah headquarters yang bagi perusahaan dengan cabang dimana-mana, tentu beban dan tekanan kerja lebih besar karena harus menghandle semua kebutuhan dari pusat (untung headquarter kantor saya di Belanda, tapi ya tetep aja sih stress juga haha). 

Bagi mereka yang juga bekerja di lapangan atau site seperti saya, masalah jarak dan waktu bersama keluarga, teman, pacar, atau guling di rumah bisa jadi masalah besar. Berhari-hari dan berminggu-minggu di site, tanpa ada hari libur walaupun sabtu-minggu, sinyal dan konektivitas yang minim karena faktor lokasi, dan perasaan-peraan lainnya.

"Wah enak lah di site, pundi-pundi uang mengalir terus."

Itu kompensasi. Ga semua orang mau ditempatkan di site atau rig yang jauh dari orang-orang yang mereka sayangi, ga semua orang bisa tahan dengan beban kerja lapangan yang ga semudah mereka bayangkan. Yang mampu mereka bayangkan hanyalah seberapa besar uang yang diterima, karena sebagian manusia tidak mau repot-repot melihat ke dalam, mereka melihat dari luar.

Saya jadi lebih mengapresiasi hidup. Lebih menghargai waktu saya ketika sedang berada di rumah, sedang bersama teman-teman lama, atau sekedar ketika saya sedang sendiri browsing internet seharian sambil minum teh. Termasuk mengapresiasi hidup dengan melanjutkan hobi saya: jalan-jalan. Sekali lagi, kebanyakan orang tidak mau repot-repot melihat ke dalam, mereka melihat dari luar. Bagi sebagian orang, jalan-jalan sama dengan menghambur-hamburkan uang, bagi sebagian lagi, jalan-jalan bisa berarti bentuk apresiasi dan proses pembelajaran diri. Saya jatuh cinta dengan alam dan isinya dari dulu dan menemukan kebahagiaan ketika saya berada di dalamnya, kebahagiaan ketika berada di tempat asing untuk beberapa saat. Maka itulah salah satu cara saya menghargai hidup saya. 

Maka di sela-sela pekerjaan saya di kantor ataupun site, saya mencari celah untuk bisa melakukan perjalanan-perjalanan kecil. Kemana saja. Seperti saat saya di site, saya menyempatkan diri berkeliling Kalimantan Timur yang disambungkan oleh highway, sesederhana itu, dan dapat bonus melihat orangutan pula. 

Saya percaya, sekarang permasalahannya bukan sempat atau tidak sempat. Punya atau tidak punya. Permasalahannya adalah cuma sesederhana niat dan kepandaian mencari celah.

"Wah enak banget sih lo bisa kesini bisa kesana." 

Mungkin mereka hanya belum menemukan bagaimana cara mengapresiasi hidupnya dan kerja keras yang sudah mereka lakukan. Kebahagiaan dan cara membahagiakan tiap orang pasti berbeda. Percayalah, selalu ada celah untuk bisa menghargai hidup, bagaimanapun caranya, sesederhana apapun. 
Kreatiflah dan pandai-pandailah, karena cuma kita yang tau apa yang kita inginkan.

Selama setahun sejak meninggalkan Bandung, saya seperti bayi yang sedang belajar untuk bisa berjalan sendiri dengan tegap. Sudah bisa berdiri di atas kaki sendiri walaupun kadang gemetar, berjalan sedikit demi sedikit, jatuh, lalu bangun lagi. Mungkin begitu seterusnya sampai nantinya bisa berlari kencang tanpa hambatan, jatuh, sampai tidak bisa bangun lagi. Di sela-sela itulah, saya mengapresiasi hidup.



1 comment:

Venessa Allia said...

ditulis dengan baik sekali :)