Kutukan Border Line

Kali ini saya nggak akan ceritain dari awal sampai akhir trip saya bulan Oktober kemarin. Semuanya berkesan, tapi yang paling berkesan adalah di perbatasan 2 negara hari-hari terakhir menuju kepulangan ke Jakarta.

Salah satu Bucket List saya adalah melewati garis batas negara lewat darat. Rencana awal saya untuk tahun ini adalah dari Vietnam lalu ke Kamboja dengan jalur darat. Tapi Tuhan berkehendak lain, karena jatah cuti yang ga bisa terlalu lama, maka rute itu pun terpaksa dialihkan.

Di 2 hari terakhir, di 2 negara akhir, saya memilih menuju Kuala Lumpur dari Singapura lewat jalan darat. Sepertinya semua ga masalah karena emang rutenya gampang banget dan mudah dilalui. Singkatnya, ujung terluar Singapur yang langsung berbatasan dengan Malaysia adalah daerah Woodlands. Saya (dan teman saya Ipul) memilih naik bus waktu itu. Bus dari Singapura hanya mengantar sampai imigrasi Malaysia di Johor. Selanjutnya, perjalanan Johor-KL yang selama empat jam itu akan kami tempuh dengan bus yang lain.

Pada saat melewati checkpoint Woodlands, semua masih baik-baik saja, stempel dengan mudahnya menempel di paspor kami. Kami naik bus lagi, menuju checkpoint kedua: Johor. Tidak ada kesulitan bagi kami untuk melewati checkpoint ini, plus petugas imigrasi lumayan cakep (?). Dari checkpoint ini kami sudah tidak lagi naik bus yang tadi, tujuan kami sekarang adalah ke Terminal Larkin dimana kami akan membeli tiket bus menuju KL. Disinilah keanehan-keanehan mulai muncul.

Kami mendapati bis yang akan membawa kami menuju Larkin. Tiketnya sangat murah, untuk kami berdua cuma kena RM 3. Karena kami hanya membawa uang pecahan ringgit dengan nominal besar (sombong) dan si supir ga ada kembalian, jadilah saya cari minimarket terdekat beli air mineral (yang rasanya aneh). Beres, sekarang uang receh ada di tangan. 




Hari sudah sore, bus sudah mau jalan. Maka kami pun berlari dari minimarket menuju bus. Saya sambil bawa ransel dan bawa-bawa air mineral 1,5 liter lari, Ipul mengikuti di samping saya. Dan jreng! Seketika itu ada bus besar (sebesar TransJakarta), ngerem mendadak dengan jarak palingan cuma 20 cm dari badan saya. Lemes. Jadi saya sebenernya udah liat bus itu, tapi karena bus itu ga ngasih tanda kalo dia mau belok (ke arah saya) ya saya santai santai aja. TAPI TERNYATA DIA BELOK TANPA NGASIH SEN. Untung dia masih reflek ngerem dan saya masih reflek geser badan. Jadi kayanya si supirnya entah ga liat atau karena badan bus nya besar dan badan saya petite begini jadi dia ga liat ada saya disana. Saya disorakin satu terminal. Lemes kuadrat.

Setelah pengalaman hampir kelindes, saya dan Ipul udah duduk manis di dalam bus menuju Larkin. Badan masih gemeteran dan pucet, mungkin itu yang namanya near death experience (selain rapeling tanpa pake pengaman waktu SMA. Iya, emang sakit jiwa). Kita akhirnya sampe dan harus lari-lari beli tiket bus lain menuju KL karena hari sudah maghrib. Setelah dilempar kesana kemari, akhirnya 2 tiket bus menuju KL aman di tangan. Kami sempat makan dulu di KFC, saya makan kayak kesurupan, Ipul juga.

Bus kami berangkat hampir jam 8 malam. Jarak menuju KL ditempuh dalam waktu 4 jam. Bus yang kami pesan itu kelas eksekutif, jadi seharusnya kami bisa nyaman selama 4 jam di sana. Memang nyaman karena seat-nya enak dan luas, tapi semua berubah ketika ada seorang laki-laki duduk tepat di belakang kursi kami. Singkat cerita, bus sudah mulai melaju, laki-laki itu mulai meracau dengan bahasa campur Inggris-Melayu. Perasaan saya ga enak.

Dia mulai mendorong-dorong kursi kami. Tidak hanya kami sebenarnya, dia juga mulai mengganggu laki-laki lain yang duduk persis di sebelahnya. Sesekali dia mondar mandir keliling ruang bus, ke lantai atas dan lantai bawah (bus-nya bertingkat) sambil terus meracau. Puncaknya adalah ketika dia memegang pipi Ipul yang duduk persis di depannya. Ipul panik, saya juga. Seketika itu juga kami rasanya pengen turun di jalan, tapi percuma karena itu JALAN TOL. Hahahaha lemes.

Jadi sepertinya laki-laki itu adalah orang stress, dia sebenernya ga menyakiti, cuma dia selalu berusaha mencari perhatian, dan Tuhan menunjuk saya dan Ipul sebagai sasaran keisengannya. Setelah kejadian-pegang-pipi, keisengan-keisengan lainnya ga berhenti. Dari mulai dorong-dorong kursi sampai puncaknya adalah ketika saya menemukan sepasang kaki besar tepat di atas kepala saya. Oke, jadi si mas-nya ini tidur dengan kedua kakinya diangkat tepat di atas kepala saya yang duduk di depannya. Saya diam, Ipul diam, daripada nanti kakinya bergerak dan kepala saya kena gaplok.

Empat jam perjalanan itu terasa sangat lama. Saya dan Ipul beneran kayak patung, ga bisa tidur, yang tadinya mau main game di tab juga ga jadi karena takut menarik perhatian dia. Akhirnya kami tiba di KL pukul 12 malam. Kami langsung ngibrit menuju hotel yang sudah kami pesan di Bukit Bintang. Tapi dasarnya saya dan Ipul tukang jalan dan ga mau rugi, walaupun udah lewat tengah malam, setelah check-in hotel, kami memutuskan untuk keluar hotel dan jalan kaki menikmati kehidupan malam di KL.

Pukul 2 dini hari. Saya dan Ipul keluar hotel, daerah Bukit Bintang masih sangat ramai, berhubung bertepatan juga dengan weekend. Hampir semua toko, pub, dan cafe masih buka. Beberapa orang di jalan terlihat meracau. Oke mereka mabuk. Tatapan "laper" laki-laki yang ada di sana ke kami berdua benar-benar ganas. Tadinya kami cuek, kami terus jalan. Semua tatapan dan rayuan-rayuan kami abaikan. Hingga akhirnya di suatu persimpangan, ada segerombolan pemuda meneriaki kami, kami ga terlalu mengerti mereka berbicara dalam bahasa apa, tapi yang jelas kami merasa mereka mulai mengikuti kami. Saya dan Ipul mulai berjalan berdekatan satu sama lain, dan dengan bahasa isyarat, kami memutuskan untuk.......BALIK BADAN DAN KABUR LARI SEKENCENG-KENCENGNYA. Satu, dua, tiga! Kami balik badan, dan langsung menyebrang di persimpangan tadi, gerombolan tadi sepertinya masih terus meneriaki kami. God!

Sebenernya saya tadinya menganggap daerah ini seperti Pattaya di Thailand. Ketika saya ke Pattaya dan menikmati night life-nya, saya merasa biasa saja, tidak insecure seperti ini. Di Pattaya pun saya bebas dari rayuan dan gombalan laki-laki. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, kami kembali ke hotel. Sampai di kamar, kami berdua cuma bisa ketawa lemes atas apa yang terjadi beberapa jam ke belakang. Saya dan Ipul ketiduran setelah nonton film random di Fox Movie, ceritanya tentang geng cewek vampir. Adegan terakhir adalah mereka nangis-nangisan, karena salah satu dari anggota geng mereka kebakar kena matahari. Random.

Paginya, kami bangun pagi-pagi. Berjalan menuju monorail. Di jalan, masih aja digodain sama bule Spanyol (yang untungnya cakep jadi ga papalah) :p 
Singkat cerita, ketika kami sedang berada dalam perjalanan kami kembali menuju Jakarta, duduklah seorang wanita muda tepat di belakang seat kami. Dari awal kami sudah curiga ada yang ga beres dengan perempuan ini dan bener aja....DIA NANGIS SESEUNGGUKAN AJA DONG DI PESAWAT ABIS NERIMA TELFON. Entah dengan siapa dia berbicara di telfon itu sebelum pesawat take off. Saya dan Ipul berasa jadi figuran sebuah setting cerita drama dengan setting menangis-di-pesawat :p

Entah apa yang salah dengan kita, trip ini benar-benar bikin lemes, lemes bahagia :D

Sampai jumpa di cerita-cerita berikutnya!
Ciao

2 comments:

masyogas said...

Favorit aku yang bagian terakhir

figuran sebuah setting drama

kyaaa~~

Venessa Allia said...

favorit gw bagian temen lo bernama ipul itu pipinya dipegang.. geli sendiri gw :))