Satu Tahun



Masih dalam rangkaian peringatan satu tahunan saya di benua ini. Sebenarnya sih saya ga pernah ngerayain atau apa, tapi saya selalu ingat tanggal-tanggal bersejarah dalam hidup saya. Saya bahkan bisa mengingat tanggal terakhir kali makan nasi (well, saya ga setiap hari makan nasi :p). Satu tahun yang pernah naik dan pernah turun, pernah juga datar.

Kemarin saya menjemput adik kelas yang kebetulan satu almamater di Bandung dulu dan akan melanjutkan studinya di jurusan yang sama dengan saya. Setahun disini membuat saya hafal luar kepala rute angkutan umum di kota ini hingga menit-menit kedatangannya, saya mungkin bisa jalan dengan mata tertutup dari rumah ke Munich Airport. Bandingkan dengan setahun lalu, jangankan rute angkutan umum, satu-satunya kata dalam Bahasa Jerman yang saya bisa hanya "Danke". Jangan tanya kemana hasil les Goethe saya di Indonesia selama ini, semua buyar ketika harus berkomunikasi langsung dengan orang Jerman, di Jerman. Sekarang? Ya tetap masih belum fasih, tapi paling tidak, sekarang saya bisa bilang bahwa Bahasa Jerman adalah bahasa ketiga saya :)

Ketika menjemput si adik kelas di bandara kemarin, saya ga bisa menghalangi pikiran saya untuk terbang kembali ke suatu hari di bulan Oktober, setahun lalu. Saat paspor saya dicek dan dicap di gerbang imigrasi, saat pertama kali saya terpukau dengan segala keteraturan di negeri ini. Koper 29 kilogram + backpack 7 kilogram + tas jinjing rasanya ga ada apa-apanya dibanding rasa senang, syukur, dan penasaran menghadapi apa yang akan terjadi di depan.

Saya punya prinsip bahwa hidup kami, pelajar rantau di negeri orang memang indah, namun tidak seindah apa yang kami gambarkan di media sosial. Singkatnya, hidup kami tidak seindah facebook/path/instagram dan sejawatnya. Saya pernah kena denda karena lupa bawa tiket kereta, pernah ga bisa ambil duit di bank karena kena limit, pernah dimaki petugas waktu ngurus residence permit, diusir satpam karena mau tidur di bandara, dibantai sama professor waktu presentasi, dan masih banyak kesialan lain. 

Menyesal? Sama sekali tidak.

Semakin saya dewasa, semakin saya bisa melihat bahwa tiap orang punya jalan dan lewat jalan apa ia ditempa hidup. Saya semakin paham bahwa ada banyak alasan bagi tiap orang untuk memutuskan sesuatu dalam hidupnya. Salah satunya bagi saya, saya punya alasan kuat untuk mengejar kebanggaan orang tua saya terlebih dahulu, yang juga menjadi alasan bagi saya untuk belum akan menikah dalam 2-3 tahun mendatang. Kenapa tiba-tiba saya mengkaitkannya dengan pernikahan? Karena memang topik ini sedang hangat dibicarakan di usia saya, ada yang sangat semangat menggebu-gebu, ada yang merasakan peer pressure, ada yang biasa saja, dan ada orang-orang seperti saya ini yang hanya bisa mengamati dari jauh.

Saya punya pertimbangan, mereka pun pasti punya pertimbangan.

Masalahnya hanya sebagian dari kita, yang baru saja menjadi dewasa ini, belum terbiasa dengan keragaman hidup yang Tuhan ciptakan bagi tiap orang. Kita terbiasa seragam ketika sekolah dulu, bahkan baju pun diseragamkan. Kita terbiasa dengan ranking, yang paling belakang selalu berarti yang paling jelek/bodoh. Lagi-lagi sistem pendidikan.

Saya tidak akan membahas soal sistem pendidikan di Indonesia. Saya punya banyak kekecewaan dengan negeri saya sendiri, namun rasa cinta saya pun juga sangat besar.

Satu hal yang saya bisa janjikan kepada tanah kelahiran saya, bahwa suatu saat saya akan kembali lagi dan memberi apa yang saya bisa, selagi bisa. Mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, atau beberapa tahun lagi sampai akhirnya saya kembali.

Untuk sementara, biarkan saya terus ditempa untuk menjadi lebih tajam.


F


No comments: