(benar-benar) kangen Papandayan

Nah, sampailah akhirnya saya mau nulis ini. Perasaan yang saya pendam beberapa bulan terakhir, beberapa kali saya sampaikan di twitter saya, saya kangen Papandayan. Rasanya itu seperti, gimana ya, seperti kangen sama rumah sendiri ketika kita lagi pergi jauh atau homesick kalo bisa dibilang. Pernah janji waktu itu sebelum angkat kaki dari Bandung pengen kesana lagi (ceritanya mau sungkem sama sekalian pamit sama gunung yang udah memberi saya gelar sarjana), tapi apa daya karena kesibukan dunia akhirat waktu itu, jadi belom terlaksana niat suci tersebut. Nah ceritanya untuk mengobati rasa kangen, saya nulis deh.

Mari kita telusuri:

1. Saya kangen sekali tiap kali bangun jam 3 pagi, cek ulang ransel, memastikan ga ada yang tertinggal (yang ujung-ujungnya pasti selalu ada yang ketinggalan), biasanya saya udah mandi sebelum tidur, jadi ga perlu mandi lagi (tolong dicatat ini Bandung, ga mandipun ga akan keringetan, kalaupun mau mandi jam 3 pagi itu bisa disamain sama anggota sirkus). 

2. Saya kangen perjalanan Bandung-Cisurupan, kalau Tuhan lagi baik ga ngasih macet, perjalanan ditempuh dalam waktu 2,5-3 jam. Saya kangen (selalu) ketiduran di jalan, dibangunin Iqbal kalo udah harus turun, dan ngangkat ransel sambil sempoyongan karena nyawa belum kumpul.

3. Naik pick up sampai parkiran. Di perjalanan nebak-nebak kira-kira kali ini beres berapa plot (tapi boong, lebih sering mikir nanti mau masak apa, mau nyemil apa, dan sibuk bbman selagi sinyal belum lenyap bersama dengan mulai terciumnya bau belerang dari kawah).

3. Sampe parkiran, partner saya biasanya ngerokok sebatang dulu, rokok abis, lanjut jalan. Biasanya diantara kami bertiga pasti ada yang bilang "Anjir aing lagi males jalan sumpah", nah biasanya yang bilang ini akan berpengaruh pada kecepatannya naik, frekuensi berhenti dan tolak pinggang, serta frekuensi minum.

4. Dari parkiran ke plot ditempuh dalam waktu kurang lebih 2,5-3 jam jalan kaki dengan medan naik-turun-naik-naik-naik. Satu jam melintasi kawah, sekali nyebrang sungai, sekali lewat tanjakan menuju neraka, baru bisa ketemu hutan. Saking udah seringnya, kami udah autopilot jalan tanpa perlu alat bantu atau petunjuk. Oh iya karena kami pasti selalu bawa "tumbal" buat dijadiin seserahan (baca: orang yang 'kurang beruntung' karena mau aja dimintain tolong bantuin kami TA) nah, sebagai ucapan terima kasih sekaligus ucapan selamat datang, kami persilakan beliau untuk lewat tanjakan ekstra joss (kenapa ekstra joss? karena tanjakan ini elevasinya hampir 90 derajat). Karena saya tuan rumah, maka saya jalan lewat jalur lain yang lebih manusiawi hehe.

5. Di titik ini biasanya udara udah keluar dari mulut dan pantat. Sampai di batu sinyal, semuanya wajib ngeluarin handphone dan sms seakan-akan itu adalah sms terakhir. Isi sms bervariasi mulai dari: "Halo aku naik dulu ya, abis ini ga ada sinyal lagi" (kyaa!) sampe "Cok, kalo jadi nyusul bawain mentega sama spaghetti". Lanjut jalan, perjalanan sisa setengah jam lagi waktu orang normal.


6. Sampe plot, assalamualaikum dulu sama saung, taro ransel, ngeluarin logistik dari lemari rahasia (dan pasti selalu dihiasi adegan "Lu kemaren naro spirtus dimana?"), ngecek telur, bikin minuman hangat. 

7. Acara masak-memasak. Ini yang paling seru, karena semua orang pernah buat dosa di sini. Pergerakan memasak sangat bisa terbaca. Ochi motong-motong bahan, saya yang masak, Iqbal bantu doa. Oh iya urusan nyalain trangia selalu gantian saya atau Iqbal, tapi di perjalanan-perjalan terakhir, akhirnya Ochi berhasil menyalakan trangia sendiri setelah sebelumnya selalu gagal. Acara masak-memasak ini selalu dihiasi dengan teriakan, kadang-kadang kata-kata tidak senonoh, atau kalo lagi galau, tiba-tiba suka ada yang curhat colongan. 

8. Soal menu jangan ditanya, sini bicara dulu sama Fetriza. Intinya cuma satu: Monosodium glutamat.


9. Sambil ngobrol di malam hari, kami menyediakan cemilan dan minuman hangat. Minuman hangat jangan ditanya, kami punya stok dari mulai teh-tehan, kopi, jahe, minuman penambah energi, sampai minuman kaleng dengan simbol 'bintang' di kalengnya. Topik obrolan biasanya gosip terkini di kampus, ngomongin orang, dan curhat colongan (biasanya ini akan diberi backsound lagu sedih dari playlist di salah satu handphone).

10. Saatnya tidur, eh belom, sebelumnya adalah ritual buang air kecil. Kami bertiga sudah punya spot masing-masing sebagai toilet pribadi dan kami sangat bertolerasi. Saatnya tidur dan berkelahi dengan suhu di atas ketinggian hampir 3000 m dpl. Posisi tidur semakin mepet, semakin asik, semakin hangat, semakin besar kemungkinan untuk tidak mati akibat hipotermia. Saya adalah orang yang paling sering kebangun di tengah malam, dengan satu alasan: ingin pipis.

11. Bangun pagi, Iqbal selalu bangun duluan, nyalain api dan ngerokok. Kalo mau cari saya pagi hari di Papandayan, bisa dipastikan saya sedang buang air besar sambil ngelamun dan tangan kanan memegang golok dan tangan kiri memegang tisu basah (kegunaan golok ada dua, pertama untuk keperluan B A B dan kedua adalah senjata tajam kalau-kalau ketemu macan).

12. Saatnya bekerja, biasanya kerja per plot dengan arah semakin masuk ke dalam hutan. Setelan saya adalah pake raincoat, tangan kiri megang meteran, tangan kanan megang alat tulis atau palu, sedangkan kantong raincoat dipenuhi cemilan, sambil kerja sambil ngunyah. Di saat inilah kata-kata kurang senonoh seringkali keluar, alasannya kalo ga salah ngukur, kepeleset, kaki nyangkut di kandang gorila, ketusuk duri, atau nabrak pohon (yang ini saya sih, entah kenapa kalo lagi ga beres, semua pohon akan saya hantam).

13. Seringkali, karena kami bekerja secara terpisah, kami biasa saut-sautan dan ngobrol jarak jauh. Kalo mulai terdengar suara-suara aneh biasanya kami akan berkumpul, berdoa, dan sok berani. Prinsip kami jika terjadi sesuatu, dan ga bisa kemana-mana, kami akan manjat pohon. 

14. Jangan kira selama kerja selalu mulus tanpa hambatan, mungkin karena kami bertiga banyak dosa, selalu aja ada cobaan. Plat kurang, catetan kebasahan, salah ngukur, salah ngitung satuan, salah koordinat dan orientasi, dan sebagainya dan sebagainya. 

15. Perjalanan pulang ditempuh dalam tempo sesingkat-singkatnya. Kami bertiga tukang ngebut dalam masalah ini, nah karena saya kalo udah lari susah nge rem, maka pasti akan ada drama dimana saya akan berteriak "ADOHH". Kalo udah kaya gini partner saya yang lain akan sibuk ketawa-ketawa tanda kemenangan. Oiya di perjalanan pulang biasanya ditemani dengan "minuman senang", percaya atau tidak habis minum ini saya jamin kalian pasti akan ketawa, beneran dijamin, kalo ga uang kembali.

16. Kembali sampai parkiran, kami biasanya ngopi dulu di warung sambil nunggu kendaraan. Turun kembali ke Cisurupan, kembali ke Bandung, di perjalanan menuju Bandung, seperti biasa kami akan tidur dalam posisi tersulit sekalipun.

Ah, ya begitu. Saya benar-benar kangen, saya benar-benar merasa berhutang budi dengan Papandayan. Terakhir saya naik 5 bulan yang lalu. Saya hanya takut saya nanti pergi jauh dan semakin jauh dari Papandayan. Saya kangen bau belerang, perpaduan bau rumput basah dan tanah di sana, saya kangen tempat tidur saya, saya kangen kedinginan di atas ketinggian beribu meter di atas permukaan laut.

Saya ingin kesana lagi.

1 comment:

Venessa Allia said...

menariiik !.. juara pe..gw rasanya ga akan sanggup. :)